KEDUA
“Hei,
Krista!” Sebuah tepukan halus di bahu membuatku menoleh. Mendapati Agus yang
menatap datar padaku. Dia terlihat tidak senang. Aku menyengir dan berlari ke
belakang panggung. Mengikutiku dari belakang, laki – laki itu tampak
mengawasiku. Sontak saja itu cukup untuk membuatku merinding.
Hari ini memang cukup sibuk. Acara
yang sangat penting akan diadakan besok. Kelulusan anak kelas 3. Graduation. Tapi persiapan lebih baik
selesai lebih awal, bukan?
“Eh,
Krista. Kemana aja tadi?” Seorang perempuan bertubuh mungil dengan potongan
rambut sebahu berkacak pinggang ke arahku. Wajahnya tampak kesal dan juga
berkeringat. Mendekatinya dan langsung meminta maaf. Dia hanya menghela nafas.
“Emang yang belum apa aja?” Dia menunjuk tumpukan kardus di belakangnya. Mulutku langsung terbuka melihatnya. Buset, banyak banget! Mungkin aku harus pura – pura untuk sakit perut. Baru saja menemukan ide untuk menghindari semua tumpukan kardus itu, kepalaku langsung dijitak.
“Emang yang belum apa aja?” Dia menunjuk tumpukan kardus di belakangnya. Mulutku langsung terbuka melihatnya. Buset, banyak banget! Mungkin aku harus pura – pura untuk sakit perut. Baru saja menemukan ide untuk menghindari semua tumpukan kardus itu, kepalaku langsung dijitak.
“Cepat
kerjakan!” Ternyata si ketua panitia, Agus. Dasar iblis! Mengangkat semua
kardus itu sekaligus dan tentu saja beberapa kardus terjatuh. Agus hanya
menghela nafas dan mengambil kardus yang terjatuh dan membawanya ke gudang.
Mengusap keringat, tersenyum setelah pekerjaan beres. Merasa sesuatu menatapku
terus, melihat kebelakang dan ternyata dia menatapku tanpa berkedip. Aduh,
kesalahan apa lagi yang aku perbuat? Dia mendekat. Satu langkah dirinya maju,
satu langkah aku mundur sampai akhirnya terhalang oleh dinding. Menutup mata
takut dipukuli oleh ketua panitia sadis ini. Bukan pukulan atau tamparan yang
menghampiriku tapi sebuah usapan halus di kepalaku. Melihat ke atas dan
mendapatinya tengah tersenyum padaku.
“Sepertinya
kau kelelahan, istirahat sana!” Tanpa menunggu perintah selanjutnya, aku
langsung pergi dari sana. Meninggalkannya sendiri dan pergi ke kantin.
Ramai. Satu kata untuk keadaan
kantin saat ini. Satu tanganku memegang semangkuk bakso dan tangan lainnya
menggenggam sebotol minuman. Kebingungan mencari tempat duduk dan akhirnya
menemukan satu kursi kosong di dekat Rhea. Dia tidak sendirian, tentu saja.
Awalnya ingin pergi dari sana tapi panggilan dari wanita cantik itu membuatku
mengurungkan niat. Aku mengangguk dan dengan terpaksa berjalan kearahnya. Duduk
disebelahnya ternyata tidak bagus. Aku menjadi susah makan. Bukan karena tempat
yang sempit tetapi anak – anak lain yang duduk bersama kami. Kebanyakaan dari
mereka bergender laki – laki. Mereka tidak mau berhenti walau hanya sekejap. Selalu
saja berusaha mengambil kesempatan dalam mendekati si pujaan hati. Tidak salah
juga karena Rhea adalah orang paling diincar di sekolah. Sedangkan aku hanya
dapat mencuri pandang sesekali. Tingkah mereka semua memang konyol. Memutuskan
untuk berhenti dan fokus dengan makanan yang ada di hadapanku. Baru beberapa
menit, tiba – tiba suara para lelaki tadi menghilang. Penasaran aku menoleh
sedikit seraya tetap menyantap makananku. Tepat disana, Agus berjalan ke arah
kami. Aku tahu kemana dia akan pergi. Menghabiskan makananku dengan cepat dan
membayarnya, aku langsung menghampirinya. Benar saja dia menceramahiku seraya
menyeretku keluar kantin. Sedangkan aku hanya dapat pasrah diperlakukan seperti
itu. Sempat melirik kearah Rhea. Wajahnya memang tersenyum padaku tetapi entah
kenapa dia terlihat sedih. Aku hanya dapat menerka kenapa dia memasang wajah
seperti itu.
Ternyata Agus telah berhasil
menyeretku sampai di belakang panggung. Dia memberikanku sebuah kertas.
Ternyata aku malah disuruh checking.
Dengan enggan aku menerimanya daripada dimarahi lagi. Satu persatu barang dalam
daftar telah siap hanya tinggal naskah untuk pembawa acara.
“Huuh,
ke kantin lagi deh,” Ucapku lesu. Lelah memikirkan dirinya yang akan bertemu
dengan kerumunan lelaki itu.
“Sepertinya
kau sedang checking, ya?” Sebuah
suara mengejutkanku. Berbalik dan melihat Rhea yang tengah tersenyum padaku.
Aku membalas senyumnya canggung.
“Aku
tadi tidak sengaja melihat daftarmu itu. Naskah pembawa acara sudah beres,
kok!” Aku mengangguk antusias. Utunglah dia datang di saat yang tepat. Naskah
pembawa acara sudah siap. Tinggal menyerahkan daftar ini kepada Agus. Belum
sempat melangkah, sebuah tangan menghentikanku. Tangan Rhea. Aku menatapnya
penasaran.
“Bagaimana
jika nanti kita pulang bareng?” Lumayan terkejut dengan perkatan yang keluar
dari seorang Rhea. Hampir saja aku menerima ajakan darinya tetapi kemudian
ingat tentang janji dengan Agus.
“Maaf,
tetapi aku sudah mempunyai janji dengan Agus,” Ucapku menyesal. Sebenarnya
tidak tega juga melihatnya sedih tetapi nanti Agus ngambek, gimana?
“Oh
begitu. Kalau gitu aku duluan, ya?” Dia melambai seraya mengambil tas
selempangnya di atas panggung. Aku hanya mengangguk dan membalas lambaiannya.
Kembali ingat dengan tugas, aku mencari Agus dan menemukannya tengah mencoba microfon.
“Sudah
aku cek semuanya, ada lagi?” Dia tampak memperhatikan dengan teliti daftar
tadi. Agus memang orang yang paling cocok untuk menjadi ketua panitia. Selain
sikapnya yang memang tegas dia juga cerdas dan teliti. Dia tersenyum dan
mengelus puncak kepalaku lembut. Menaruh daftar tadi di bagian berkas, dia
mengambil tasku dan juga miliknya. Hatiku sudah berlonjak gembira ketika pekerjaan
kali ini selesai. Aku mengikutinya dan berhenti di sebelah motor sport hijau.
“Kris,
apa kau masih iri kepada Rhea?” Pertanyaan darinya sukses membuatku diam tidak
berkutik. Dia masih membelakangiku, terlihat sibuk dengan motornya. Dia
berbalik dan menyodorkan sebuah helm. Aku mengambilnya seraya mengangguk yang
membuatnya menghela nafas lelah. Dia terlihat berusaha mensejajarkan tingginya
denganku dan mengacak rambutku.
“Seharusnya
kau tidak iri malah kasihan pada Rhea,” Kebingungan dengan perkataan darinya
tetapi belum sempat bertanya karena Agus memaksaku naik. Untung saja aku tidak
sedang memakai rok tetapi celana training jadi tidak terlalu repot untuk naik
motor gede Agus. Memastikan aku sudah naik dia melajukan sepeda motornya keluar dari halaman parkir sekolah. Saat
perjalanan aku hanya dapat terdiam ketika mendengar perkataan Agus tadi.
Mengapa aku harus kasihan padanya? Bukankah dia itu populer?
Lamunanku terpaksa terhenti karena
Agus yang mendadak menghentikan motornya. Aku mengira kita sudah sampai tetapi
ternyata ini adalah lapangan yang berarti rumahku masih setengah perjalanan.
Seperti mengerti akan kebingunganku, Agus membuka helmnya seraya menaruh
telunjuk di depat mulutnya, menyuruhku diam. Dia menunjuk ke arah lapangan yang
sedikit tersembunyi karena rindangnya pepohonan. Kami berada di pinggir lapangan
jadi butuh usaha keras bagiku untuk melihat ke arah yang ditunjuk Agus. Sampai
akhirnya samar – samar aku melihat beberapa gerombolan siswi dari sekolahku.
Awalnya aku tidak mengerti tetapi saat melihat orang selanjutnya di sana,
mataku langsung terbelalak. Rhea!
Ketiga siswi itu menarik rambut Rhea
membuatnya mengaduh kesakitan. Berusaha meneliti siapa orang yang melakukan itu
kepada sang idola sekolah.
“Queen. Kau tahu bukan siapa mereka?”
Siapa yang tidak mengenal Queen.
Mereka itu adalah genk paling kejam di sekolah. Mereka bahkan dikenal dengan
julukan Evil Queen di sekolah lain.
Hal yang paling mencolok dari mereka adalah mereka menggunakan semacam pin
berbentuk kerajaan. Tidak ada yang berani melawan mereka. Lumayan terkejut
karena seorang Rhea dapat berurusan dengan mereka. Aku hanya dapat melihatnya
disiksa oleh mereka. Mulai dari menjambak rambutnya sampai dengan memukulnya
habis – habisan. Cukup! Tidak tahan dengan pemandangan itu, aku turun dari
motor Agus dan berlari ke arah mereka. Melepas helmku dan langsung memukulkannya
pada salah satu dari ketiga siswa itu sampai dia terjatuh tidak sadarkan diri
karena pukulan yang terlampau keras. Dua sisanya menatapku marah karena telah
mengganggu acara senang – senang mereka. Mereka melepas ikat pinggang mereka
untuk digunakan sebagai senjata sedangkan aku hanya menggunakan helm tadi
sebagai senjataku. Sempat melihat kebelakang dan melihat Rhea yang tengah
terbaring lemah.
“Huh!
Berani sekali kau menyerang ketua kami. Sekarang rasakan ini!” Salah satu dari
mereka maju dan mencoba mencambukku dengan ikat pinggang di genggamannya tetapi
untung saja dapat aku hindari. Tidak menyerah, dia menyerangku secara membabi
buta. Aku menghindari sembari berusaha mendekati dirinya. Merasa cukup dekat,
segera kutarik ikat pinggangnya kebelakang memutari tubuhnya dan mengikatnya
dengan ikat pinggang miliknya sendiri. Tinggal satu lagi. Tiba – tiba leherku
dijerat oleh sesuatu. Ternyata itu adalah siswi tadi. Dia menjerat leherku
dengan ikat pinggangnya dan menariknya. Marah, aku menarik ikat pinggang itu
dan menyeret siswi itu kehadapanku. Menggenggam tangannya dan menariknya
kebelakang, menguncinya. Melepas jeratannya di leherku dan berbalik mengikat tangannya.
Menghela nafas dan tersenyum puas dengan hasil pekerjaanku.
“Hebat
sekali, ketua,” Melihat kebelakang dan menemukan Agus yang duduk bersender di
pohon. Dia bangun dan mengelus leherku yang sedikit lecet.
“Lain
kali hati – hati,” Tersipu malu karena perlakuan Agus, aku segera teringat
dengan Rhea. Ternyata dia sudah duduk bersender pada pohon lainnya. Wajahnya
tampak babak belur. Mendekatinya dan mendapatinya tersenyum padaku. Memutuskan
untuk menghubungi kedua orang tuanya dan juga orang tua dari para Queen. Aku mendapatkannya dari data yang
dibawa oleh Agus. Entah dari mana dia mendapatkannya. Setelah memberitahu
lokasi kami, beberapa kendaraan terparkir tepat di luar lapangan.
“Dimana
anakku?” Seorang pria paruh baya dengan pakaian resmi tampak berlari tergopoh –
gopoh. Dia menemukan Rhea yang tengah terduduk lemah dan bersandar padaku.
Tanpa mengatakan apapun, pria itu menggendong Rhea dan masuk kedalam mobil.
Satu persatu para Queen sudah
dijemput oleh orang tua mereka masing masing dan juga meminta maaf kepada kami.
Aku hanya mengangguk dan melihat lapangan yang mulai sepi. Mengambil helm yang
diserahkan oleh Agus dan akhirnya terduduk lemas.
“Kenapa
kau tidak membantuku?” Tanyaku sebal. Sedangkan dia hanya menyeringai kecil.
Lama – lama aku benci melihat seringainya itu.
“Aku
tahu kau pasti bisa mengalahkan mereka. Kau ‘kan ketua klub silat.”
Mengerucutkan bibir, tidak puas dengan jawabannya. Dia tampak duduk di
sebelahku. Nafasku sedikit memburu karena melawan Queen sendirian. Sedangkan Agus hanya diam memandang langit.
“Apa
karena ini kau bilang seharusnya aku kasihan pada Rhea?” Dia tersenyum dan
mendengus. Dia melihatku dengan sorot mata yang tidak dapat aku mengerti.
“Yap.
Menjadi populer tidak selalu baik. Suatu hal pasti mempunyai dampak negatif.
Mungkin kau akan mempunyai banyak penggemar tetapi jangan lupa haters yang selalu membencimu.” Aku
hanya dapat merenung mendengar perkataannya. Mungkin dia benar. Pantas saja
Rhea tampak ingin mendekatiku. Tepukan di pundakku menyadarkanku. Agus
menjulurkan tangannya yang langsung aku terima. Entahlah. Hari ini sepertinya
aku tidak ingin menjadi si populer. Karena diriku saja sudah cukup. Mungkin
menjadi kedua memang tidak terlalu buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar