Sabtu, 29 Juli 2017

Jumantari Kumpulan Cerita : Cerpen, Kedua

KEDUA

           
               Memasang senyum terpaksa. Aku yakin dia juga tidak akan menyadarinya. Terlalu sibuk dengan perhatian yang diberikan oleh mereka. Idola sekolah. Menyebalkan. Sedangkan aku hanya tersenyum ketika dia melihat kearahku. Berusaha tersenyum lebih tepatnya. Aku iri padanya, tentu saja. Dia pintar hampir dalam segala bidang. Olahraga, pelajaran bahkan seni. Entah dimana kelemahannya.

“Hei, Krista!” Sebuah tepukan halus di bahu membuatku menoleh. Mendapati Agus yang menatap datar padaku. Dia terlihat tidak senang. Aku menyengir dan berlari ke belakang panggung. Mengikutiku dari belakang, laki – laki itu tampak mengawasiku. Sontak saja itu cukup untuk membuatku merinding.
            Hari ini memang cukup sibuk. Acara yang sangat penting akan diadakan besok. Kelulusan anak kelas 3. Graduation. Tapi persiapan lebih baik selesai lebih awal, bukan?
“Eh, Krista. Kemana aja tadi?” Seorang perempuan bertubuh mungil dengan potongan rambut sebahu berkacak pinggang ke arahku. Wajahnya tampak kesal dan juga berkeringat. Mendekatinya dan langsung meminta maaf. Dia hanya menghela nafas.
“Emang yang belum apa aja?” Dia menunjuk tumpukan kardus di belakangnya. Mulutku langsung terbuka melihatnya. Buset, banyak banget! Mungkin aku harus pura – pura untuk sakit perut. Baru saja menemukan ide untuk menghindari semua tumpukan kardus itu, kepalaku langsung dijitak.
“Cepat kerjakan!” Ternyata si ketua panitia, Agus. Dasar iblis! Mengangkat semua kardus itu sekaligus dan tentu saja beberapa kardus terjatuh. Agus hanya menghela nafas dan mengambil kardus yang terjatuh dan membawanya ke gudang. Mengusap keringat, tersenyum setelah pekerjaan beres. Merasa sesuatu menatapku terus, melihat kebelakang dan ternyata dia menatapku tanpa berkedip. Aduh, kesalahan apa lagi yang aku perbuat? Dia mendekat. Satu langkah dirinya maju, satu langkah aku mundur sampai akhirnya terhalang oleh dinding. Menutup mata takut dipukuli oleh ketua panitia sadis ini. Bukan pukulan atau tamparan yang menghampiriku tapi sebuah usapan halus di kepalaku. Melihat ke atas dan mendapatinya tengah tersenyum padaku.
“Sepertinya kau kelelahan, istirahat sana!” Tanpa menunggu perintah selanjutnya, aku langsung pergi dari sana. Meninggalkannya sendiri dan pergi ke kantin.
            Ramai. Satu kata untuk keadaan kantin saat ini. Satu tanganku memegang semangkuk bakso dan tangan lainnya menggenggam sebotol minuman. Kebingungan mencari tempat duduk dan akhirnya menemukan satu kursi kosong di dekat Rhea. Dia tidak sendirian, tentu saja. Awalnya ingin pergi dari sana tapi panggilan dari wanita cantik itu membuatku mengurungkan niat. Aku mengangguk dan dengan terpaksa berjalan kearahnya. Duduk disebelahnya ternyata tidak bagus. Aku menjadi susah makan. Bukan karena tempat yang sempit tetapi anak – anak lain yang duduk bersama kami. Kebanyakaan dari mereka bergender laki – laki. Mereka tidak mau berhenti walau hanya sekejap. Selalu saja berusaha mengambil kesempatan dalam mendekati si pujaan hati. Tidak salah juga karena Rhea adalah orang paling diincar di sekolah. Sedangkan aku hanya dapat mencuri pandang sesekali. Tingkah mereka semua memang konyol. Memutuskan untuk berhenti dan fokus dengan makanan yang ada di hadapanku. Baru beberapa menit, tiba – tiba suara para lelaki tadi menghilang. Penasaran aku menoleh sedikit seraya tetap menyantap makananku. Tepat disana, Agus berjalan ke arah kami. Aku tahu kemana dia akan pergi. Menghabiskan makananku dengan cepat dan membayarnya, aku langsung menghampirinya. Benar saja dia menceramahiku seraya menyeretku keluar kantin. Sedangkan aku hanya dapat pasrah diperlakukan seperti itu. Sempat melirik kearah Rhea. Wajahnya memang tersenyum padaku tetapi entah kenapa dia terlihat sedih. Aku hanya dapat menerka kenapa dia memasang wajah seperti itu.
            Ternyata Agus telah berhasil menyeretku sampai di belakang panggung. Dia memberikanku sebuah kertas. Ternyata aku malah disuruh checking. Dengan enggan aku menerimanya daripada dimarahi lagi. Satu persatu barang dalam daftar telah siap hanya tinggal naskah untuk pembawa acara.
“Huuh, ke kantin lagi deh,” Ucapku lesu. Lelah memikirkan dirinya yang akan bertemu dengan kerumunan lelaki itu.
“Sepertinya kau sedang checking, ya?” Sebuah suara mengejutkanku. Berbalik dan melihat Rhea yang tengah tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya canggung.
“Aku tadi tidak sengaja melihat daftarmu itu. Naskah pembawa acara sudah beres, kok!” Aku mengangguk antusias. Utunglah dia datang di saat yang tepat. Naskah pembawa acara sudah siap. Tinggal menyerahkan daftar ini kepada Agus. Belum sempat melangkah, sebuah tangan menghentikanku. Tangan Rhea. Aku menatapnya penasaran.
“Bagaimana jika nanti kita pulang bareng?” Lumayan terkejut dengan perkatan yang keluar dari seorang Rhea. Hampir saja aku menerima ajakan darinya tetapi kemudian ingat tentang janji dengan Agus.
“Maaf, tetapi aku sudah mempunyai janji dengan Agus,” Ucapku menyesal. Sebenarnya tidak tega juga melihatnya sedih tetapi nanti Agus ngambek, gimana?
“Oh begitu. Kalau gitu aku duluan, ya?” Dia melambai seraya mengambil tas selempangnya di atas panggung. Aku hanya mengangguk dan membalas lambaiannya. Kembali ingat dengan tugas, aku mencari Agus dan menemukannya tengah mencoba microfon.
“Sudah aku cek semuanya, ada lagi?” Dia tampak memperhatikan dengan teliti daftar tadi. Agus memang orang yang paling cocok untuk menjadi ketua panitia. Selain sikapnya yang memang tegas dia juga cerdas dan teliti. Dia tersenyum dan mengelus puncak kepalaku lembut. Menaruh daftar tadi di bagian berkas, dia mengambil tasku dan juga miliknya. Hatiku sudah berlonjak gembira ketika pekerjaan kali ini selesai. Aku mengikutinya dan berhenti di sebelah motor sport hijau.
“Kris, apa kau masih iri kepada Rhea?” Pertanyaan darinya sukses membuatku diam tidak berkutik. Dia masih membelakangiku, terlihat sibuk dengan motornya. Dia berbalik dan menyodorkan sebuah helm. Aku mengambilnya seraya mengangguk yang membuatnya menghela nafas lelah. Dia terlihat berusaha mensejajarkan tingginya denganku dan mengacak rambutku.
“Seharusnya kau tidak iri malah kasihan pada Rhea,” Kebingungan dengan perkataan darinya tetapi belum sempat bertanya karena Agus memaksaku naik. Untung saja aku tidak sedang memakai rok tetapi celana training jadi tidak terlalu repot untuk naik motor gede Agus. Memastikan aku sudah naik dia melajukan sepeda motornya  keluar dari halaman parkir sekolah. Saat perjalanan aku hanya dapat terdiam ketika mendengar perkataan Agus tadi. Mengapa aku harus kasihan padanya? Bukankah dia itu populer?
            Lamunanku terpaksa terhenti karena Agus yang mendadak menghentikan motornya. Aku mengira kita sudah sampai tetapi ternyata ini adalah lapangan yang berarti rumahku masih setengah perjalanan. Seperti mengerti akan kebingunganku, Agus membuka helmnya seraya menaruh telunjuk di depat mulutnya, menyuruhku diam. Dia menunjuk ke arah lapangan yang sedikit tersembunyi karena rindangnya pepohonan. Kami berada di pinggir lapangan jadi butuh usaha keras bagiku untuk melihat ke arah yang ditunjuk Agus. Sampai akhirnya samar – samar aku melihat beberapa gerombolan siswi dari sekolahku. Awalnya aku tidak mengerti tetapi saat melihat orang selanjutnya di sana, mataku langsung terbelalak. Rhea!
            Ketiga siswi itu menarik rambut Rhea membuatnya mengaduh kesakitan. Berusaha meneliti siapa orang yang melakukan itu kepada sang idola sekolah.
Queen. Kau tahu bukan siapa mereka?” Siapa yang tidak mengenal Queen. Mereka itu adalah genk paling kejam di sekolah. Mereka bahkan dikenal dengan julukan Evil Queen di sekolah lain. Hal yang paling mencolok dari mereka adalah mereka menggunakan semacam pin berbentuk kerajaan. Tidak ada yang berani melawan mereka. Lumayan terkejut karena seorang Rhea dapat berurusan dengan mereka. Aku hanya dapat melihatnya disiksa oleh mereka. Mulai dari menjambak rambutnya sampai dengan memukulnya habis – habisan. Cukup! Tidak tahan dengan pemandangan itu, aku turun dari motor Agus dan berlari ke arah mereka. Melepas helmku dan langsung memukulkannya pada salah satu dari ketiga siswa itu sampai dia terjatuh tidak sadarkan diri karena pukulan yang terlampau keras. Dua sisanya menatapku marah karena telah mengganggu acara senang – senang mereka. Mereka melepas ikat pinggang mereka untuk digunakan sebagai senjata sedangkan aku hanya menggunakan helm tadi sebagai senjataku. Sempat melihat kebelakang dan melihat Rhea yang tengah terbaring lemah.
“Huh! Berani sekali kau menyerang ketua kami. Sekarang rasakan ini!” Salah satu dari mereka maju dan mencoba mencambukku dengan ikat pinggang di genggamannya tetapi untung saja dapat aku hindari. Tidak menyerah, dia menyerangku secara membabi buta. Aku menghindari sembari berusaha mendekati dirinya. Merasa cukup dekat, segera kutarik ikat pinggangnya kebelakang memutari tubuhnya dan mengikatnya dengan ikat pinggang miliknya sendiri. Tinggal satu lagi. Tiba – tiba leherku dijerat oleh sesuatu. Ternyata itu adalah siswi tadi. Dia menjerat leherku dengan ikat pinggangnya dan menariknya. Marah, aku menarik ikat pinggang itu dan menyeret siswi itu kehadapanku. Menggenggam tangannya dan menariknya kebelakang, menguncinya. Melepas jeratannya di leherku dan berbalik mengikat tangannya. Menghela nafas dan tersenyum puas dengan hasil pekerjaanku.
“Hebat sekali, ketua,” Melihat kebelakang dan menemukan Agus yang duduk bersender di pohon. Dia bangun dan mengelus leherku yang sedikit lecet.
“Lain kali hati – hati,” Tersipu malu karena perlakuan Agus, aku segera teringat dengan Rhea. Ternyata dia sudah duduk bersender pada pohon lainnya. Wajahnya tampak babak belur. Mendekatinya dan mendapatinya tersenyum padaku. Memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuanya dan juga orang tua dari para Queen. Aku mendapatkannya dari data yang dibawa oleh Agus. Entah dari mana dia mendapatkannya. Setelah memberitahu lokasi kami, beberapa kendaraan terparkir tepat di luar lapangan.
“Dimana anakku?” Seorang pria paruh baya dengan pakaian resmi tampak berlari tergopoh – gopoh. Dia menemukan Rhea yang tengah terduduk lemah dan bersandar padaku. Tanpa mengatakan apapun, pria itu menggendong Rhea dan masuk kedalam mobil. Satu persatu para Queen sudah dijemput oleh orang tua mereka masing masing dan juga meminta maaf kepada kami. Aku hanya mengangguk dan melihat lapangan yang mulai sepi. Mengambil helm yang diserahkan oleh Agus dan akhirnya terduduk lemas.
“Kenapa kau tidak membantuku?” Tanyaku sebal. Sedangkan dia hanya menyeringai kecil. Lama – lama aku benci melihat seringainya itu.
“Aku tahu kau pasti bisa mengalahkan mereka. Kau ‘kan ketua klub silat.” Mengerucutkan bibir, tidak puas dengan jawabannya. Dia tampak duduk di sebelahku. Nafasku sedikit memburu karena melawan Queen sendirian. Sedangkan Agus hanya diam memandang langit.
“Apa karena ini kau bilang seharusnya aku kasihan pada Rhea?” Dia tersenyum dan mendengus. Dia melihatku dengan sorot mata yang tidak dapat aku mengerti.

“Yap. Menjadi populer tidak selalu baik. Suatu hal pasti mempunyai dampak negatif. Mungkin kau akan mempunyai banyak penggemar tetapi jangan lupa haters yang selalu membencimu.” Aku hanya dapat merenung mendengar perkataannya. Mungkin dia benar. Pantas saja Rhea tampak ingin mendekatiku. Tepukan di pundakku menyadarkanku. Agus menjulurkan tangannya yang langsung aku terima. Entahlah. Hari ini sepertinya aku tidak ingin menjadi si populer. Karena diriku saja sudah cukup. Mungkin menjadi kedua memang tidak terlalu buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar