Cinta Moyet
Masa sekolah. Benar – benar masa
yang indah. Terutama saat masih SMA. Masa dimana anak mengalami pubertas.
Kita
mengalami berbagai hal baru yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Persahabatan,
kegugupan, iri hati bahkan kebencian. Hal yang tidak pernah luput dalam kisah
SMA seseorang adalah cinta. Baiklah, mungkin memang tidak ada yang melewati
masa SMA tanpa pernah mengalami atau hanya sekedar mendengar kata ‘cinta
monyet’. Aku yakin kita pasti pernah mengalaminya walau hanya sekali. Jika ada
yang mengatakan tidak pernah, tenang saja aku tidak akan memaksa kalian.
Sama seperti kalian aku juga
mengalami cinta monyet. Bukan, itu bukan kisah percintaan dengan seekor monyet.
Itu hanyalah sekedar istilah.
Kisah cinta yang rumit bagi seorang
anak yang baru saja menginjak masa remajanya. Saat itu aku masih polos. Aku
tidak mengerti akan arti cinta bahkan merasakannya. Semua pikiran polos itu
akhirnya terkubur hanya karena suatu kecelakaan kecil.
Dia menabrakku saat aku kelas 2. Dia yang
menyebabkan aku penasaran dengan arti cinta. Sungguh sangat klise. Aku membenci sesuatu yang terlalu
mainstream, tapi untuk kali ini aku
tidak keberatan.
“Ah,
maaf,” Ujar seseorang yang baru saja bertubrukan denganku. Aku yang terduduk di
lantai seraya memungut bukuku melihat ke arahnya. Matanya menangkap
pandanganku. Hitam sekelam malam.
“Em,
kau baik – baik saja?”
Aku menggelengkan kepalaku dan
dengan cepat merapikan buku yang berserakan. Aku bangun dan melihat kearahnya,
malu. Dia hanya tersenyum padaku.
Oh God, that
smile make me melt!
Untung saja aku dapat menguasai diriku untuk tidak
berteriak dan membuatnya ketakutan. Aku membalas senyumannya dengan gugup. Aku
harus mengangkat kepalaku untuk itu. Tingginya tidak main – main. Intinya dia
lebih tinggi dariku.
“Em,
terima kasih,” Ujarku malu – malu. Dia hanya mengganguk dengan senyuman masih
terpatri di wajahnya. Setelah mengucapkan dua kata itu aku langsung pergi
meninggalkannya. Wajahku memerah dan jantungku entah kenapa berdetak sangat
cepat.
‘Sakit
jantungkah?’ pikirku. Ngaco memang. Aku hanya tidak ingin terlalu cepat
mengetahui perasaan ini.
Tampak dari kejauhan Ana, sahabatku
melambaikan tangannya ke arahku. Aku mengangguk dan dengan hati – hati membawa
buku paket yang akan dibagikan kepada SISRU (siswa baru). Sembari membagikan
buku itu, aku menetralkan detak jantungku. Fokus, takut akan dimarahi oleh Ana.
Ya, memang dia adalah ketua OSIS yang sedikit galak.
Hari yang cukup melelahkan. Mengikuti
organisasi ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Setelah acara MOS budi
pekerti, kami memasuki kelas dan memulai pelajaran seperti biasa. Sadis memang.
Saat memasuki kelas, tidak ada guru
satupun. Kelas juga seperti kelas lainnya yang tanpa guru, kapal pecah. Aku
duduk di kelas dengan perasaan lega. Bukan, bukan karena tidak membuat tugas,
tetapi karena aku mendapatkan waktu untuk istirahat sejenak. Baru saja aku
lesehan sebentar, pintu kelas tiba – tiba terbuka. Aku membenarkan posisi dudukku.
Kelas mendadak menjadi hening.
“Maaf,
saya sedikit terlambat,”
Aku mengenal suara itu. Suara yang baru saja
membantuku memungut buku – buku paket yang beratnya minta ampun. Aku melihat ke
depan. Ternyata dia adalah orang yang menabrakku tadi.
“Saya
adalah guru biologi. Saya pengganti sementara guru yang lama. Kalian boleh
memanggil saya Pak Altar,” Baiklah mungkin aku sedikit berhalusinasi. Aku
mengucek kedua mataku, ternyata aku tidak sedang berhalusinasi. Dia membenarkan
posisi kacamatanya yang mulai merosot. Wajahnya tampak sedikit pucat tetapi itu
tidak mengurangi taraf ketampanannya. Oke, mulai salah fokus.
“Karena
saya guru pengganti selama sebulan, bagaimana jika jam ini kita gunakan untuk
sesi perkenalan?” Ujarnya dengan senyuman yang mungkin sedikit gugup. Serentak
kelas menjadi heboh. Bagaimana tidak, kelas biologi yang biasanya membuat
suntuk – setelah sejarah, tentu saja – kini diisi dengan sesi perkenalan dengan
guru tampan. Siapa yang gak suka coba?
Setelah Pak Altar membuka sesi
perkenalan, banyak pertanyaan yang datang dari para murid. Aku tidak terlalu
fokus dengan apa yang mereka tanyakan karena masih sedikit kelelahan. Hanya
beberapa yang kudengar, misalnya,
“Pak,
umur berapa?”
“Udah
punya pacar gak pak?”
“Pak,
punya uang gak?” Khusus untuk yang ini benar – benar gak modal.
Jam pelajaran kali ini hanya berisi pertanyaan itu –
itu saja. Saat aku membuka mataku, kelas sudah hampir setengah kosong. Kulirik
jam tanganku, ternyata sudah jam istirahat. Hampir melangkah keluar, sebuah
suara menghentikanku,
“Oh,
bukankah tadi kau orang yang aku tabrak?”
Tubuhku menegang. Aku melihat kearah
suara itu, ternyata Pak Altar masih ada di dalam kelas bersiap untuk keluar.
Aku hanya mengangguk. Pak Altar tersenyum dan membawa buku paket biologi. Dia
mendekatiku seraya mengelus kepalaku lembut.
“Saat
jam pelajaran tadi, kelihatannya kau lelah sekali?” Dia menatapku sangsi.
Dadaku berdegup kencang. Ternyata dia memperhatikanku. Sikapnya ini membuat
kelopak – kelopak semakin bermekaran di tubuhku. Untung saja kelas sudah sepi
sekarang, jika tidak entah apa yang harus aku katakan kepada teman sekelasku
nanti.
“Saya
tadi habis mengikuti kegiatan MOS SISRU, pak,” Ujarku. Aku mengutuk suaraku
yang tiba – tiba menjadi kecil.
“Oh,
kalau begitu aku akan meminta tolong yang lain saja,” Dia tampak melirik ke tumpukan
kertas di atas meja guru.
‘Kesempatan!’
Pikirku dengan semangat. Aku segera mencegahnya seraya mengelengkan kepala.
“Biar
saya saja, pak!”
Well, sepertinya teriak bukanlah hal yang bagus.
Terlihat dari tubuhnya yang sedikit terkejut dengan nada suaraku yang meninggi.
Tetapi untungnya itu tidak membuatnya berpikir bahwa aku aneh. Dia mengambil
setengah kertas untukku dan setengahnya lagi untuk dirinya. Aku membiarkannya
berjalan di depan. Wajahku memerah. Pikiranku sudah melayang kemana – mana.
Entah kemana kepolosanku beberapa jam yang lalu. Semuanya seperti lenyap tak
bersisa.
Akhirnya kami tiba di ruangannya. Ruangan yang cukup
bersih menurutku. Dia menaruh semua kertas itu di atas mejanya dan mengambil
milikku. Aku cukup kagum dengan dekorasi ruangannya. Ruangan ini sempit, tetapi
tetap nyaman untuk didiami. Ditambah dengan sebuah pot bunga yang masih segar.
Bunga mawar putih, lambang cinta yang mengandung kepolosan tiada iri dan
dengki.
“Ah!”
Suara itu
membuatku berhenti dan melihat ke asal suara. Di sana, tepat di sebelah meja
dengan berkas – berkas tadi, sebuah figura photo tergeletak di lantai. Pak
Altar mengambil figura itu dan menghela nafas lega saat melihat figura itu masih
utuh. Aku mencoba mengintip dari belakang tubuhnya. Sepertinya dia tahu akan
rasa kepoku. Dia menggeser tubuhnya
sedikit agar aku dapat melihat photo itu.
Seharusnya aku tidak melakukannya.
Sebuah keluarga tampak di foto itu.
Keluarga yang rukun. Terlihat seorang wanita yang sangat cantik mengenakan
dress terusan putih. Wajahnya sangat bahagia. Senyuman terukir dengan indah.
Disebelahnya seorang anak perempuan juga memakai pakaian yang sama dengan
wanita disebelahnya. Rambutnya digerai membuatnya seperti bintang sinetron yang
sering ditonton ibu – ibu. Lebih mengagetkan lagi, pria yang menunjukkan
cengirannya. Tampak sangat bahagia. Tetapi yang membuatku sedih, pria yang ada
difoto itu adalah,
Pak Altar.
“Yah
itu adalah keluargaku. Aku menaruh photonya di sini untuk menjadi
penyemangatku, hehehe”
Hanya dengan sebaris kalimat, hatiku hancur. Aku
memaksakan diriku tertawa tetapi tidak bisa. Hatiku seperti diremas. Pak Altar
menyadari perubahan sikapku. Dia tampak khawatir, tetapi aku tidak perduli
lagi.
“Maaf,
pak. Sepertinya saya merasa tidak enak badan,”
“Eh,
kenapa tiba – tiba?”
“Entahlah
pak, saya permisi” Ujarku seraya menahan tangis.
Aku tidak menunggu balasan darinya.
Aku langsung keluar dari ruanganku. Persetan dengan yang namanya sopan santun.
Pertama kali jatuh cinta dan jatuh benar – benar sakit. Dasar cinta monyet
sialan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar