Kamis, 22 Juni 2017

Jumantari Kumpulan Cerita : Cermin, Cinta Monyet

Cinta Moyet
            Masa sekolah. Benar – benar masa yang indah. Terutama saat masih SMA. Masa dimana anak mengalami pubertas.
Kita mengalami berbagai hal baru yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Persahabatan, kegugupan, iri hati bahkan kebencian. Hal yang tidak pernah luput dalam kisah SMA seseorang adalah cinta. Baiklah, mungkin memang tidak ada yang melewati masa SMA tanpa pernah mengalami atau hanya sekedar mendengar kata ‘cinta monyet’. Aku yakin kita pasti pernah mengalaminya walau hanya sekali. Jika ada yang mengatakan tidak pernah, tenang saja aku tidak akan memaksa kalian.
            Sama seperti kalian aku juga mengalami cinta monyet. Bukan, itu bukan kisah percintaan dengan seekor monyet. Itu hanyalah sekedar istilah.
            Kisah cinta yang rumit bagi seorang anak yang baru saja menginjak masa remajanya. Saat itu aku masih polos. Aku tidak mengerti akan arti cinta bahkan merasakannya. Semua pikiran polos itu akhirnya terkubur hanya karena suatu kecelakaan kecil.
Dia menabrakku saat aku kelas 2. Dia yang menyebabkan aku penasaran dengan arti cinta. Sungguh sangat klise. Aku membenci sesuatu yang terlalu mainstream, tapi untuk kali ini aku tidak keberatan.
“Ah, maaf,” Ujar seseorang yang baru saja bertubrukan denganku. Aku yang terduduk di lantai seraya memungut bukuku melihat ke arahnya. Matanya menangkap pandanganku. Hitam sekelam malam.
“Em, kau baik – baik saja?”
            Aku menggelengkan kepalaku dan dengan cepat merapikan buku yang berserakan. Aku bangun dan melihat kearahnya, malu. Dia hanya tersenyum padaku.
Oh God, that smile make me melt!
Untung saja aku dapat menguasai diriku untuk tidak berteriak dan membuatnya ketakutan. Aku membalas senyumannya dengan gugup. Aku harus mengangkat kepalaku untuk itu. Tingginya tidak main – main. Intinya dia lebih tinggi dariku.
“Em, terima kasih,” Ujarku malu – malu. Dia hanya mengganguk dengan senyuman masih terpatri di wajahnya. Setelah mengucapkan dua kata itu aku langsung pergi meninggalkannya. Wajahku memerah dan jantungku entah kenapa berdetak sangat cepat.
‘Sakit jantungkah?’ pikirku. Ngaco memang. Aku hanya tidak ingin terlalu cepat mengetahui perasaan ini.
            Tampak dari kejauhan Ana, sahabatku melambaikan tangannya ke arahku. Aku mengangguk dan dengan hati – hati membawa buku paket yang akan dibagikan kepada SISRU (siswa baru). Sembari membagikan buku itu, aku menetralkan detak jantungku. Fokus, takut akan dimarahi oleh Ana. Ya, memang dia adalah ketua OSIS yang sedikit galak.
            Hari yang cukup melelahkan. Mengikuti organisasi ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Setelah acara MOS budi pekerti, kami memasuki kelas dan memulai pelajaran seperti biasa. Sadis memang.
            Saat memasuki kelas, tidak ada guru satupun. Kelas juga seperti kelas lainnya yang tanpa guru, kapal pecah. Aku duduk di kelas dengan perasaan lega. Bukan, bukan karena tidak membuat tugas, tetapi karena aku mendapatkan waktu untuk istirahat sejenak. Baru saja aku lesehan sebentar, pintu kelas tiba – tiba terbuka. Aku membenarkan posisi dudukku. Kelas mendadak menjadi hening.
“Maaf, saya sedikit terlambat,”
Aku mengenal suara itu. Suara yang baru saja membantuku memungut buku – buku paket yang beratnya minta ampun. Aku melihat ke depan. Ternyata dia adalah orang yang menabrakku tadi.
“Saya adalah guru biologi. Saya pengganti sementara guru yang lama. Kalian boleh memanggil saya Pak Altar,” Baiklah mungkin aku sedikit berhalusinasi. Aku mengucek kedua mataku, ternyata aku tidak sedang berhalusinasi. Dia membenarkan posisi kacamatanya yang mulai merosot. Wajahnya tampak sedikit pucat tetapi itu tidak mengurangi taraf ketampanannya. Oke, mulai salah fokus.
“Karena saya guru pengganti selama sebulan, bagaimana jika jam ini kita gunakan untuk sesi perkenalan?” Ujarnya dengan senyuman yang mungkin sedikit gugup. Serentak kelas menjadi heboh. Bagaimana tidak, kelas biologi yang biasanya membuat suntuk – setelah sejarah, tentu saja – kini diisi dengan sesi perkenalan dengan guru tampan. Siapa yang gak suka coba?
            Setelah Pak Altar membuka sesi perkenalan, banyak pertanyaan yang datang dari para murid. Aku tidak terlalu fokus dengan apa yang mereka tanyakan karena masih sedikit kelelahan. Hanya beberapa yang kudengar, misalnya,
“Pak, umur berapa?”
“Udah punya pacar gak pak?”
“Pak, punya uang gak?” Khusus untuk yang ini benar – benar gak modal.
Jam pelajaran kali ini hanya berisi pertanyaan itu – itu saja. Saat aku membuka mataku, kelas sudah hampir setengah kosong. Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam istirahat. Hampir melangkah keluar, sebuah suara menghentikanku,
“Oh, bukankah tadi kau orang yang aku tabrak?”
            Tubuhku menegang. Aku melihat kearah suara itu, ternyata Pak Altar masih ada di dalam kelas bersiap untuk keluar. Aku hanya mengangguk. Pak Altar tersenyum dan membawa buku paket biologi. Dia mendekatiku seraya mengelus kepalaku lembut.
“Saat jam pelajaran tadi, kelihatannya kau lelah sekali?” Dia menatapku sangsi. Dadaku berdegup kencang. Ternyata dia memperhatikanku. Sikapnya ini membuat kelopak – kelopak semakin bermekaran di tubuhku. Untung saja kelas sudah sepi sekarang, jika tidak entah apa yang harus aku katakan kepada teman sekelasku nanti.
“Saya tadi habis mengikuti kegiatan MOS SISRU, pak,” Ujarku. Aku mengutuk suaraku yang tiba – tiba menjadi kecil.
“Oh, kalau begitu aku akan meminta tolong yang lain saja,” Dia tampak melirik ke tumpukan kertas di atas meja guru.
‘Kesempatan!’ Pikirku dengan semangat. Aku segera mencegahnya seraya mengelengkan kepala.
“Biar saya saja, pak!”
Well, sepertinya teriak bukanlah hal yang bagus. Terlihat dari tubuhnya yang sedikit terkejut dengan nada suaraku yang meninggi. Tetapi untungnya itu tidak membuatnya berpikir bahwa aku aneh. Dia mengambil setengah kertas untukku dan setengahnya lagi untuk dirinya. Aku membiarkannya berjalan di depan. Wajahku memerah. Pikiranku sudah melayang kemana – mana. Entah kemana kepolosanku beberapa jam yang lalu. Semuanya seperti lenyap tak bersisa.
Akhirnya kami tiba di ruangannya. Ruangan yang cukup bersih menurutku. Dia menaruh semua kertas itu di atas mejanya dan mengambil milikku. Aku cukup kagum dengan dekorasi ruangannya. Ruangan ini sempit, tetapi tetap nyaman untuk didiami. Ditambah dengan sebuah pot bunga yang masih segar. Bunga mawar putih, lambang cinta yang mengandung kepolosan tiada iri dan dengki.
“Ah!”
 Suara itu membuatku berhenti dan melihat ke asal suara. Di sana, tepat di sebelah meja dengan berkas – berkas tadi, sebuah figura photo tergeletak di lantai. Pak Altar mengambil figura itu dan menghela nafas lega saat melihat figura itu masih utuh. Aku mencoba mengintip dari belakang tubuhnya. Sepertinya dia tahu akan rasa kepoku. Dia menggeser tubuhnya sedikit agar aku dapat melihat photo itu.
Seharusnya aku tidak melakukannya.
            Sebuah keluarga tampak di foto itu. Keluarga yang rukun. Terlihat seorang wanita yang sangat cantik mengenakan dress terusan putih. Wajahnya sangat bahagia. Senyuman terukir dengan indah. Disebelahnya seorang anak perempuan juga memakai pakaian yang sama dengan wanita disebelahnya. Rambutnya digerai membuatnya seperti bintang sinetron yang sering ditonton ibu – ibu. Lebih mengagetkan lagi, pria yang menunjukkan cengirannya. Tampak sangat bahagia. Tetapi yang membuatku sedih, pria yang ada difoto itu adalah,
Pak Altar.
“Yah itu adalah keluargaku. Aku menaruh photonya di sini untuk menjadi penyemangatku, hehehe”
Hanya dengan sebaris kalimat, hatiku hancur. Aku memaksakan diriku tertawa tetapi tidak bisa. Hatiku seperti diremas. Pak Altar menyadari perubahan sikapku. Dia tampak khawatir, tetapi aku tidak perduli lagi.
“Maaf, pak. Sepertinya saya merasa tidak enak badan,”
“Eh, kenapa tiba – tiba?”
“Entahlah pak, saya permisi” Ujarku seraya menahan tangis.

            Aku tidak menunggu balasan darinya. Aku langsung keluar dari ruanganku. Persetan dengan yang namanya sopan santun. Pertama kali jatuh cinta dan jatuh benar – benar sakit. Dasar cinta monyet sialan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar