Jumat, 07 April 2017

Years Old, Different Mother | Yamazaki Akira

Different Mother

            Aku membuka lembar pertama dari buku album itu. Terpampang jelas dua buah foto yang sedikit kusam.“Itu siapa, kak?” Raisya, anak perempuan yang aku pangku meninjuk sebuah foto yang menggambarkan seorang bayi yang masih merah dan terselimuti oleh kain. “Itu kakak,”
Aku tersenyum kearahnya yang sedang mengangguk lucu, pertanda dia mengerti. Aku kembali meneliti foto itu. Benar – benar saat pertama kali aku terlahir di dunia. Mata yang belum sepenuhnya mengetahui tentang apa yang aku lihat. Senyuman, airmata haru atau bahkan raut wajah marah, polos. Pipi kemerahan menggemaskan bagaikan apel merah itu membuat semua orang yang melihatnya ingin memeluk atau bahkan mencubit sang malaikat kecil, tidak terlalu perduli jika dia akan menangis nantinya. Tangan mungil yang belum mampu untuk melayangkan kekerasan kepada seseorang. Hanya dapat menggapainya. “ Aduh, imut banget, sih?!” Anak lelaki gembul yang bernama Fatar menangkup pipinya sendiri ketika melihat foto itu. Aku terkikik dengan perilakunya padahal dari tadi dia hanya terdiam dan mendengarkan. “ Dasar, kau kan juga punya pipi yang lebih besar!” Raisya Melihat kearahnya seraya memeletkan lidahnya, berusaha mengejek anak di sebelahnya. Sedangkan Fatar hanya membuang muka dan kentara dia sedang menanggung malu terlihat dari wajahnya yang memerah bahkan sampai telinga. Aku terkiki melihat perlakuan mereka.
            Tiba – tiba ada yang menarik lengan bajuku dan aku melihat altar yang masih saja dengan wajah datarnya, padahal dia masih anak – anak. Aku mengangkat sebelah alisku saat dia belum kunjung mengatakan sesuatu. Tangannya bergerak dan akhirnya menunjuk ke arah foto lainnya, tepat di bawah foto bayi tadi. “ Lalu, itu siapa?” Perkataan Altar sukses membuat kedua anak yang sedag berseteru tadi mengalihkan pandangan ke arah yang dia tunjukkan. Tepat di foto itu ada seorang wanita berambut hitam yang sedang menggendong bayi tadi. Raut wajahnya terlihat sangat lembut, terutama sorot matanya. Dia masih mengenakan pakaian bersalin dan tertidur di ranjang rumah sakit. Dia terlihat begitu lelah dengan rambut yang sedikit berantakan. Tetapi senyumannya masih dapat terpatri di sana, senyuman khas seseorang yang baru saja membawa kebahagiaan bagi keluarga barunya. Aku tersenyum tetapi rasa sesak memasuki dadaku. “Dia ibuku,” Aku menahan sedikit suaraku agar tidak terlalu kentara jika sedang menahan tangis. Mengingatnya entah kenapa membuatku rindu, tetapi kini telah tertuang penuh ke dalam sebuah foto album. “ Cantik, sama seperti kakak,” Raisya berkata sembari meneliti wajahku. Penasaran, Fatar juga melakukan hal yang sama. “ Apanya yang sama?” Dia melihat wajahku dan foto itu secara bergantian. Diperlakukan seperti itu membuatku menjadi sedikit tidak nyaman, tetapi aku tidak menyuruh mereka untuk menghentikannya dan membiarkannya saja.  
Mereka berdua masih meneliti wajahku sedangkan Altar hanya mengernyit, aneh denagn perlakuan kedua temannya. “Ah!” Tiba – tiba Raisya memekik seraya tersenyum lebar dan menunjuk ke wajahku. “ Coba lihat warna matanya, mirip bukan?” Ternyata dia menunjuk ke arah mataku membuatku sedikit menjauh ke belakang, takut tertusuk oleh jarinya. Fatar melihat ke arah mataku dan juga foto itu secara bergantian. Tersenyum lebar seraya menganguk, setuju dengan perkataan temannya. Aku juga ikut meneliti wajah ibuku dan melihat ke arah matanya. Dia sedang tersenyum, matanya menyipit tetapi masih tampak jelas warna mata itu, coklat gelap. Aku tersenyum, kembali teringat dengan warna mataku sendiri. “ Berarti kakak juga memiliki warna mata yang sama dengan ibu, tetapi dia lebih cerah,” Mengalihkan pandangan ke arah Raisya yang sedang memegang dagunya, mengingat warna mata ibunya. Aku tersenyum seraya mengelus pucuk kepalanya lembut. Dia tampak sedang menikmai elusanku, terlihat dari senyum di wajahnya yang tenang. “Ibu kakak pasti senang malihat kakak lahir, kan?” Aku tersenyum dan mengangguk. Aku mengusap foto itu dan seakan dia nyata berada di hadapanku. “Dia yang melahirkanku ke dunia ini. Dia merawatku, sangat baik. Tetapi aku kira dia pasti kecewa dengan apa yang telah kulakukan kepadanya.” Aku merasakan mataku yang mulai basah. Mengingat kenangan yang telah lama terpendam dan membukanya kembali benar – benar menghabiskan emosiku saat ini. Aku merasakan genggaman di tanganku dan setelah kulihat itu adalah Altar yang sednang tersenyum teduh kepadaku. Aku sedikit dibuat terperanjat olehnya. Baru pertama kali aku melihat senyumnya, benar – benar lugu khas anak kevcil tetapi teduh bersamaan. “Kakak tidak usah khawatir. Ibumu pasti memaafkan semua kesalahan kakak, sama seperti ibuku.” Aku tersenyum mendengar penuturan lugu dari Altar. Tetapi senyum itu akhirnya berubah menjadi sebuah senyum getir. Aku ingin sekali mengatakan kepada mereka bahwa setiap orang itu berbeda, termasuk ajaran seorang ibu. Ingin aku mengutarakan, tetapi niat itu luntur seketika saat mengingat bahwa mereka masih kecil. Aku mengurungkan niatku dan akhirnya memutuskan untuk membiarkan mereka mengetahuinya sendiri suatu saat nanti. Aku hanya mengagguk sebagai jawaban dari penuturan Altar. “Ibu kalian sangat baik. Jangan pernah mengecewakannya, hm?” Mereka bertiga mengangguk membuatku tersenyum.

“Bagaimana dengan kakak?” Aku menoleh ke arah Fatar. Aku sedikit memiringkan kepala keran kebingungan. Sepertinya dia mengerti dan menjelaskannya. “Apa kakak pernah mengecewakan ibumu?” Aku sedikit terperanjat dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang anak yang kurang lebih berumur 5 tahun itu. Senyum getir kembali terpatri di wajahku. ‘Aku adalah seorang anak yang gagal’ kataku dalam hati. “Nah, kalian tidak akan pernah menemukan seorang anak yang dapat membuat seorang ibu menangis sejadi – jadinya di hadapannya sendiri.” Mereka memiringkan kepala lucu. Aku terkikik tetapi memang benar itulah aku, seorang anak yang hanya membawa penderitaan bahkan kepada orang yang melahirkanku ke dunia ini. Aku menepuk kepala mereka dan menyuruh mereka untuk kembali duduk. Kenangan pertama sudah cukup untuk membuka luka yang telah aku obati. Tetapi terlanjur sudah aku membuka, tidak akan dapat berhenti. Setiap foto memberikan rasa yang berbeda kepadaku. Halaman pertama, telah berhasil menorehkan luka yang amat dalam. Halaman itu pula yang membuatku membuka memori tentang ibuku, ibu yang paling berbeda dari yang lainnya. It’s different mother.



                    ~ Perlakuan setiap ibu itu berbeda. Pada dasarnya, setiap orang itu berbeda.           Perlakuan mereka, cara merawatnya bahkan kepribadian mereka. Kalian beruntung bagi yang memiliki dan mendapat kasih sayang seorang ibu, karena itu tidak akan didapat dengan cara lain ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar