Different Mother
Aku
membuka lembar pertama dari buku album itu. Terpampang jelas dua buah foto yang
sedikit kusam.“Itu siapa, kak?” Raisya, anak perempuan yang aku pangku
meninjuk sebuah foto yang menggambarkan seorang bayi yang masih merah dan
terselimuti oleh kain. “Itu kakak,”
Aku tersenyum kearahnya yang sedang
mengangguk lucu, pertanda dia mengerti. Aku kembali meneliti foto itu. Benar –
benar saat pertama kali aku terlahir di dunia. Mata yang belum sepenuhnya
mengetahui tentang apa yang aku lihat. Senyuman, airmata haru atau bahkan raut
wajah marah, polos. Pipi kemerahan menggemaskan bagaikan apel merah itu membuat
semua orang yang melihatnya ingin memeluk atau bahkan mencubit sang malaikat
kecil, tidak terlalu perduli jika dia akan menangis nantinya. Tangan mungil
yang belum mampu untuk melayangkan kekerasan kepada seseorang. Hanya dapat
menggapainya. “ Aduh, imut banget, sih?!” Anak lelaki gembul yang bernama Fatar
menangkup pipinya sendiri ketika melihat foto itu. Aku terkikik dengan
perilakunya padahal dari tadi dia hanya terdiam dan mendengarkan. “ Dasar, kau
kan juga punya pipi yang lebih besar!” Raisya Melihat kearahnya seraya
memeletkan lidahnya, berusaha mengejek anak di sebelahnya. Sedangkan Fatar
hanya membuang muka dan kentara dia sedang menanggung malu terlihat dari
wajahnya yang memerah bahkan sampai telinga. Aku terkiki melihat perlakuan
mereka.
Tiba
– tiba ada yang menarik lengan bajuku dan aku melihat altar yang masih saja
dengan wajah datarnya, padahal dia masih anak – anak. Aku mengangkat sebelah
alisku saat dia belum kunjung mengatakan sesuatu. Tangannya bergerak dan
akhirnya menunjuk ke arah foto lainnya, tepat di bawah foto bayi tadi. “ Lalu,
itu siapa?” Perkataan Altar sukses membuat kedua anak yang sedag berseteru tadi
mengalihkan pandangan ke arah yang dia tunjukkan. Tepat di foto itu ada seorang
wanita berambut hitam yang sedang menggendong bayi tadi. Raut wajahnya terlihat
sangat lembut, terutama sorot matanya. Dia masih mengenakan pakaian bersalin
dan tertidur di ranjang rumah sakit. Dia terlihat begitu lelah dengan rambut
yang sedikit berantakan. Tetapi senyumannya masih dapat terpatri di sana,
senyuman khas seseorang yang baru saja membawa kebahagiaan bagi keluarga
barunya. Aku tersenyum tetapi rasa sesak memasuki dadaku. “Dia ibuku,” Aku
menahan sedikit suaraku agar tidak terlalu kentara jika sedang menahan tangis.
Mengingatnya entah kenapa membuatku rindu, tetapi kini telah tertuang penuh ke
dalam sebuah foto album. “ Cantik, sama seperti kakak,” Raisya berkata sembari
meneliti wajahku. Penasaran, Fatar juga melakukan hal yang sama. “ Apanya yang
sama?” Dia melihat wajahku dan foto itu secara bergantian. Diperlakukan seperti
itu membuatku menjadi sedikit tidak nyaman, tetapi aku tidak menyuruh mereka
untuk menghentikannya dan membiarkannya saja.
Mereka berdua masih
meneliti wajahku sedangkan Altar hanya mengernyit, aneh denagn perlakuan kedua temannya.
“Ah!” Tiba – tiba Raisya memekik seraya tersenyum lebar dan menunjuk ke
wajahku. “ Coba lihat warna matanya, mirip bukan?” Ternyata dia menunjuk ke
arah mataku membuatku sedikit menjauh ke belakang, takut tertusuk oleh jarinya.
Fatar melihat ke arah mataku dan juga foto itu secara bergantian. Tersenyum
lebar seraya menganguk, setuju dengan perkataan temannya. Aku juga ikut
meneliti wajah ibuku dan melihat ke arah matanya. Dia sedang tersenyum, matanya
menyipit tetapi masih tampak jelas warna mata itu, coklat gelap. Aku tersenyum,
kembali teringat dengan warna mataku sendiri. “ Berarti kakak juga memiliki
warna mata yang sama dengan ibu, tetapi dia lebih cerah,” Mengalihkan pandangan
ke arah Raisya yang sedang memegang dagunya, mengingat warna mata ibunya. Aku
tersenyum seraya mengelus pucuk kepalanya lembut. Dia tampak sedang menikmai
elusanku, terlihat dari senyum di wajahnya yang tenang. “Ibu kakak pasti senang
malihat kakak lahir, kan?” Aku tersenyum dan mengangguk. Aku mengusap foto itu
dan seakan dia nyata berada di hadapanku. “Dia yang melahirkanku ke dunia ini.
Dia merawatku, sangat baik. Tetapi aku kira dia pasti kecewa dengan apa yang
telah kulakukan kepadanya.” Aku merasakan mataku yang mulai basah. Mengingat
kenangan yang telah lama terpendam dan membukanya kembali benar – benar menghabiskan
emosiku saat ini. Aku merasakan genggaman di tanganku dan setelah kulihat itu
adalah Altar yang sednang tersenyum teduh kepadaku. Aku sedikit dibuat
terperanjat olehnya. Baru pertama kali aku melihat senyumnya, benar – benar lugu
khas anak kevcil tetapi teduh bersamaan. “Kakak tidak usah khawatir. Ibumu
pasti memaafkan semua kesalahan kakak, sama seperti ibuku.” Aku tersenyum
mendengar penuturan lugu dari Altar. Tetapi senyum itu akhirnya berubah menjadi
sebuah senyum getir. Aku ingin sekali mengatakan kepada mereka bahwa setiap
orang itu berbeda, termasuk ajaran seorang ibu. Ingin aku mengutarakan, tetapi
niat itu luntur seketika saat mengingat bahwa mereka masih kecil. Aku
mengurungkan niatku dan akhirnya memutuskan untuk membiarkan mereka mengetahuinya
sendiri suatu saat nanti. Aku hanya mengagguk sebagai jawaban dari penuturan
Altar. “Ibu kalian sangat baik. Jangan pernah mengecewakannya, hm?” Mereka
bertiga mengangguk membuatku tersenyum.
“Bagaimana dengan kakak?” Aku menoleh ke
arah Fatar. Aku sedikit memiringkan kepala keran kebingungan. Sepertinya dia
mengerti dan menjelaskannya. “Apa kakak pernah mengecewakan ibumu?” Aku sedikit
terperanjat dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang anak yang kurang
lebih berumur 5 tahun itu. Senyum getir kembali terpatri di wajahku. ‘Aku
adalah seorang anak yang gagal’ kataku dalam hati. “Nah, kalian tidak akan
pernah menemukan seorang anak yang dapat membuat seorang ibu menangis sejadi –
jadinya di hadapannya sendiri.” Mereka memiringkan kepala lucu. Aku terkikik
tetapi memang benar itulah aku, seorang anak yang hanya membawa penderitaan
bahkan kepada orang yang melahirkanku ke dunia ini. Aku menepuk kepala mereka
dan menyuruh mereka untuk kembali duduk. Kenangan pertama sudah cukup untuk
membuka luka yang telah aku obati. Tetapi terlanjur sudah aku membuka, tidak
akan dapat berhenti. Setiap foto memberikan rasa yang berbeda kepadaku. Halaman
pertama, telah berhasil menorehkan luka yang amat dalam. Halaman itu pula yang
membuatku membuka memori tentang ibuku, ibu yang paling berbeda dari yang
lainnya. It’s different mother.
~ Perlakuan setiap ibu itu berbeda. Pada
dasarnya, setiap orang itu berbeda. Perlakuan mereka, cara merawatnya
bahkan kepribadian mereka. Kalian beruntung bagi yang memiliki dan mendapat
kasih sayang seorang ibu, karena itu tidak akan didapat dengan cara lain ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar