Dia Hebat
Halaman pertama telah dilewati dan satu
buah luka kembali tertoreh dengan sukses.
Kenangan pertama telah terambil dan dengan sukses membuat satu emosiku keluar. Ketiga anak – anak itu mendesakku agar kembali melanjutkan kegiatanku, membuka album foto. Mungkin ini memang terdengar membosankan bahkan sempat dipandang remeh, tetapi tidak untukku. Sebuah album foto itu sangat berarti karena menyimpan sebuah kenangan yang tidak ingin terlupakan. Aku akhirnya membuka lembaran selanjutnya. “Imutnya!” Baru saja aku membuka halaman itu, Raisya memekik lagi. Memang tidak salah dengan reaksinya itu karena di halaman itu ada 2 buah foto. Foto pertama memperlihatkan seorang anak kecil kira – kira berumur 6 tahun memakai seragam sekolah. Dari raut wajahnya sepertinya dia tengah malu – malu sekaligus takut. Dia memakai kemeja putih dan juga rok berwarna merah. Rambutnya dijalin dua dan wajahnya yang memang lugu itu menambah kesan manis yang melekat. “Kenapa cupu gitu?” Sebuah perempatan dengan sukses terpatri karena sebuah suara yang dingin itu malah berbeda reaksi dari dua lainnya. ‘Dasar, anak ini,’ Aku menghela nafas berusaha menahan sedikit rasa kesalku. Aku sedikit memaksa senyumanku dan menoleh kearahnya, “Itu kan memang dulu, Tar,” Raut wajahnya terlihat tidak percaya dan sebuah seringai merendahkan tertoreh di bibirnya. Rasa kesal kembali datang dan dengan sekuat tenaga harus aku tahan. Untunglah jika dia masih anak – anak, jadi aku masih bisa maklum. “Ish, kau ini!” Raisya degan cepat memukul bahu Altar dengan sedikit keras yang cukup untuk membuatnya mengaduh kesakitan. Aku terkikik melihat kelakuan jahil Raisya. Aku juga tahu jika Altar tidak bermaksud untuk mengatakan itu, lagipula dia masih anak – anak.
Kenangan pertama telah terambil dan dengan sukses membuat satu emosiku keluar. Ketiga anak – anak itu mendesakku agar kembali melanjutkan kegiatanku, membuka album foto. Mungkin ini memang terdengar membosankan bahkan sempat dipandang remeh, tetapi tidak untukku. Sebuah album foto itu sangat berarti karena menyimpan sebuah kenangan yang tidak ingin terlupakan. Aku akhirnya membuka lembaran selanjutnya. “Imutnya!” Baru saja aku membuka halaman itu, Raisya memekik lagi. Memang tidak salah dengan reaksinya itu karena di halaman itu ada 2 buah foto. Foto pertama memperlihatkan seorang anak kecil kira – kira berumur 6 tahun memakai seragam sekolah. Dari raut wajahnya sepertinya dia tengah malu – malu sekaligus takut. Dia memakai kemeja putih dan juga rok berwarna merah. Rambutnya dijalin dua dan wajahnya yang memang lugu itu menambah kesan manis yang melekat. “Kenapa cupu gitu?” Sebuah perempatan dengan sukses terpatri karena sebuah suara yang dingin itu malah berbeda reaksi dari dua lainnya. ‘Dasar, anak ini,’ Aku menghela nafas berusaha menahan sedikit rasa kesalku. Aku sedikit memaksa senyumanku dan menoleh kearahnya, “Itu kan memang dulu, Tar,” Raut wajahnya terlihat tidak percaya dan sebuah seringai merendahkan tertoreh di bibirnya. Rasa kesal kembali datang dan dengan sekuat tenaga harus aku tahan. Untunglah jika dia masih anak – anak, jadi aku masih bisa maklum. “Ish, kau ini!” Raisya degan cepat memukul bahu Altar dengan sedikit keras yang cukup untuk membuatnya mengaduh kesakitan. Aku terkikik melihat kelakuan jahil Raisya. Aku juga tahu jika Altar tidak bermaksud untuk mengatakan itu, lagipula dia masih anak – anak.
Sebuah tarikan pada lengan bajuku
membuatku menoleh kearah Fatar dan mengangkat alis, bingung. “Itu kaki siapa?”
Dia menunjuk ke arah foto dan ternyata anak kecil itu sedang berada di sebelah
kaki yang cukup jenjang. “Itu kaki ayah kakak,” Waktu dulu aku memang hanya
masih sepinggang ayah. Raut wajahnya yang sedikit takut itu memeluk pinggang
oang di sebelahnya. Tetapi entah kenapa melihat seorang anak kecil dengan raut
wajah ketakutan itu sedikit lucu. Aku bahkan sedikit gemas dengan diriku
sendiri. “Kenapa kakak takut untuk bersekolah?” Raisya mengangkat wajahnya agar melihat
wajahku dan aku melihatnya dengan sorot mata jahil. “Memangnya saat kalian
pertama kali sekolah tidak begitu, hm?” Bukannya Raisya yang malu tetapi Altar
dan Fatar yang wajahnya memerah sedangkan Raisya sedikit terkikik melihat
reaksi mereka berdua. Aku semakin bingung dengan mereka. Raisya melihatku dan
menghentikan tawanya yang lama – lama makin keras, kasihan kepada dua anak
lelaki yang sedang memerah bagaikan warna tomat.
“Saat sekolah pertama kali, aku sih nggak apa – apa. Aku kan sudah
punya banyak teman di sana, bahkan sebelum bersekolah di sana. Berbeda dengan
mereka. Karena mereka bukan asli dari sini jadi, ya, sama seperti kakak,
takut,” Entah kenapa aku juga menjadi sedikit malu mendengar penekanan pada
kata ‘sama seperti kakak’, sehingga wajahku seakan bersaing dengan kedua anak
lelaki itu. “Bahkan Altar sampai menangis loh, karena tidak ingin ditinggal
oleh ayahnya padahal hanya ingin ke kamar mandi,” Aku sedikit terkikik
mendengar bahwa Altar, anak yang dingin itu ternyata mempunyai rasa takut juga.
Sedangkan anak yang tengah dibicarakan membuang muka, terlihat jelas bahwa dia
sedang menahan malu bahkan sampai telinganya merah. “Sudah, kasihan mereka,”
Aku menyuruh Raisya untuk menghentikan tawanya padahal aku sendiri masih
sedikit kelepasan tertawa. Berdehem sedikit, aku menghentikan tawaku sepenuhnya
saat melihat kedua anak lelaki itu hampir mewek. “Berarti itu ayah kakak, ya?”
Altar dengan cepat bertanya kepadaku yang sepertinya berusaha untuk mengalihkan
topik pembicaraan. Aku mengganguk dan melihat foto itu. Aku tidak senang, tentu
saja dan juga tidak sedih. Tidak ada yang aku rasakan saat melihat foto
tersebut. Tetapi sebisa mungkin aku menutupinya dengan senyuman yang sedikit
terpaksa. Luka kedua terbuka, tepat di dekat luka pertama, membiarkan luka itu
semakin melebar. Ingatan – ingatan dulu dengan sang ayah kembali terngiang di
otakku. Mereka merekamnya dan memutarnya bagaikan sebuah film.
Bagaimana dia
tersenyum lembut kepadaku, menemaniku saat pertama kali sekolah. Saat itu aku
tidak mau melepaskannya sama sekali, takut akan dunia luar. Dia tersenyum
meyakinkan dan mensejajarkan kepalanya tepat di telingaku seraya berbisik,
“Jangan takut, ayah ada di sini,” Aku melihat kearahnya yang telah menggenggam
tanganku erat, menyalurkan keyakinannya padaku. Sifatnya yang keras kepala dan
juga sedikit pemarah hilang seketika saat melihat senyuman dan dorongan yang
tak kasat mata darinya. Aku perlahan tersenyum kepadanya dan mengangguk yakin.
Perlahan kulepaskan tangannya, keluar melepaskan diri dari tambang yang aman.
Berjalan mendekati arah kehidupan baru dan menemukan kenyamanan sendiri lagi.
“Kakak?” Aku merasakan sebuah tepukan halus di tanganku. Aku melihat pandangan
ketiga anak tadi khawatir membuatku mengangkat alis, bingung. “Tadi saat Altar
bertanya tentang foto itu kakak malah melamun,” Raisya menjelaskan sembari
menunjuk Altar yang mukanya sedikit merasa bersalah. Entah kenapa dia memasang
raut wajah seperti itu. Dia terlihat seperti orang yang sedang gelisah
membuatku semakin bingung akan perilakunya yang tiba – tiba berubah. “Ano,
kakak marah ya, saat aku menunjuk foto ayah kakak?” Aku hanya mengangguk
mengerti dalam hati. Ternyata itu yang membuat dia merasa bersalah. Aku
tersenyum kepadanya dan mengelus puncak kepalanya. “Bukan, Altar tidak salah,
kok,” Senyum kembali menghampiri wajahnya. “ Kakak hanya teringat kepada ayah
kakak,” Tiba – tiba kali ini Fatar yang antusias bahkan sampai hampir mendorong
Raisya yang duduk di pangkuanku. Dia meminta maaf kepada Raisya tanpa bersuara,
hanya dengan menggerakkan mulutnya saja. Aku tersenyum kepada Fatar. “Memang,
ayah kakak itu kenapa?” Fatar menyuarakan pertanyaannya. Aku melihat kedua anak
lelaki disana, sang calon ayah. “Menurut kalian?” Aku menaik turunkan alisku,
bermain – main. Seperti yang aku duga mereka kelimpungan dan terlihat jelas
dari dahi mereka yang berkerut. Aku terkikik melihat waajah mereka yang cukup
lucu. Fatar tampak sudah menemukannya terlihat jelas dari raut wajahnya yang
sumringah. “Pasti baik, ‘kan?” Aku mengeleng mendengar jawaban yang sederhana
dan sepertinya sedikit mengada – ada. Tersenyum menanggapi, aku mengelus puncak
kepala Altar dan mencubit pipinya yang sedikit gembil itu. “Lebih dari itu, dia
hebat,”
~ Menurutku ayah tidak baik, tidak sempurna atau
bahkan yang lebih buruk lagi jahat. Dia hanya memberikan kasihnya dengan cara
yang berbeda. Oleh karena itu aku menyebutnya hebat ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar