Switch Over
Plak! Sebuah tamparan yang cukup keras mengenai pipinya. Ruam – ruam merah menghiasi pipinya. Dia mengusap bekas tamparan tadi. Tampak air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sedangkan pria yang menamparnya hanya memandang acuh tak acuh dan pergi begitu saja. Wanita paruh baya itu merunduk dan menangis dalam diam.
Seorang anak perempuan meringkuk
ketakutan. Dia tidak ingin melihat pertengkaran antara kedua orang tuanya lagi.
Dia takut. Beruntung adiknya sudah terlelap sejak tadi. Dia tidak ingin adiknya
melihat hal ini. Cukup dia saja. Dia memberanikan diri untuk mengintip dari
jendela kamarnya. Dia melihat ibunya tengah menangis. Hatinya teriris, tentu
saja. Dia marah kepada ayahnya.
Pertengkaran dimulai hanya karena
masalah kecil. Tetapi dampaknya berujung besar. Ayahnya tidak mengerti betapa
lelah ibunya. Dia hanya menginginkan hasil yang bagus tanpa perduli akan
proses. Seandainya dia mempunyai keberanian, dia akan membela ibunya. Tapi
seandainya tetaplah seandainya. Dia tidak dapat berbuat apa – apa kecuali
berdoa untuk keselamatan ibunya.
Dia melangkah dengan gontai ke
tempat tidur. Berbaring dan memeluk adiknya lembut, takut hal yang sama akan
terjadi kepada adik semata wayangnya. Dia berdoa dalam hati agar ayahnya
mendapatkan pelajaran. Dia perlahan menutup matanya tanpa mengetahui butir –
butir jiwa melayang, mewujudkan doa dari seorang anak 7 tahun.
Mata yang sembab itu terbuka
perlahan. Dia mengerjapkan matanya, membiasakan dengan cahaya matahari yang
menelusup dari balik korden. Dia melirik jam dinding. Pukul 6 pagi. Dia
langsung bangun dan melihat ke sekitar. Dia melihat dirinya masih terbaring
pulas. Ternyata dia masih –eh! Tunggu dulu. Dia melihat dirinya sendiri
tertidur pulas. Dia bangun dan melihat ke cermin.
“Apa?!”
Tubuh disebelahnya terusik dengan teriakan tadi.
“Kenapa
kau teriak sepagi ini, hah?” Pria disebelahnya perlahan membuka matanya. Raut
wajahnya menandakan tidak suka. Bukannya takut, wanita paruh baya itu mendekati
pria tadi.
“Siapa
kau?!” Teriak wanita. Pria paruh baya tadi tampak marah dan menyibakkan selimut
dengan kasar. Dia bangun dan menjambak rambut wanita itu.
“Ah!”
Wanita itu tampak meringis kesakitan. Dia memandang marah kepada pria
disebelahnya.
“Kenapa
kau ada di tubuhku?!” Pria tadi tampak bingung dengan perkataan wanita
dihadapannya.
“Apa
maksudmu, ini tubuhku!” Bentak pria tadi.
Tarikan di rambutnya semakin keras,
membuatnya merintih kesakitan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Dia ingin melawan, tetapi kondisi fisiknya kini tidak mendukung. Jika saja dia
tidak sedang berada di tubuh istrinya dia pasti dapat memukul pria di depannya
ini.
Ya, kalian tidak salah dengar. Dia -Ayah Irma-
berada di tubuh istrinya.
Dia hanya dapat memberontak kecil
dan itupun tidak berpengaruh. Perlawanan dari sang istri membuat amarahnya
semakin memuncak. Tangannya sudah gatal untuk memberi istrinya pelajaran yang
tak akan pernah terlupakan. Dia menampar pipi istrinya dan meninggalkan
istrinya.
Sedangkan jiwa Ayah Irma baru mengetahui kondisi
dari istrinya itu. Dalam tubuh itu, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa.
Setiap akan melakukan sesuatu, tubuhnya akan meronta untuk berhenti. Hal itu
sangat menyiksa baginya. Dia juga harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dia
tidak dapat berhenti kecuali semua pekerjaannya selesai. Dia tidak dapat
membantah karena peraturan itu dibuat olehnya, dengan tubuh aslinya. Dia menyesal
telah membuat peraturan seperti itu tanpa mengetahui seberapa berat
pekerjaanya. Sekarang dia menyesal.
Dia meringis saat tangannya tidak sengaja mengusap
bekas tamparan itu. Rasa sakit langsung menjalar dan membuatnya semakin
meringis. Dia mengistirahatkan tubuhnya setelah setengah pekerjaan
terselesaikan. Itu hanya setengah, tetapi dia sudah sangat lelah. Sempat
terbersit di pikirannya, bagaimana istrinya dapat menyelesaikan semua pekerjaan
ini tanpa mengeluh akan lelah yang kini dia rasakan?
Dia ingat bekas tamparan tadi dan mengambil sebuah
kapas juga obat merah. Dia meringis ketika obat merah itu mengenai bekas
tamparan tadi. Dia tidak mengerti kenapa istrinya tidak melawan saat dia
memperlakukan dirinya seperti ini. Dia merasa semakin bersalah. Pertama, karena
dia tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang suami karena tidak pernah
memperdulikan kondisi istrinya sendiri. Kedua, karena dia telah membuat
peraturan dengan semena – mena tanpa mengetahui kesusahan dalam mengerjakannya.
Ketiga, dia telah menyakiti istrinya tanpa mengetahui bagaimana sakitnya
diperlakukan seperti itu. Keempat dan yang paling penting, dia sendiri yang
membuat keluarga yang telah dia bangun menjadi tidak harmonis. Dia tidak
perduli dengan anak – anaknya yang melihat pertengkaran mereka berdua.
Mengingat semua hal itu membuat hatinya seperti
teriris. Bagaikan ada ribuan jarum yang menusuk hatinya. Begitu sakit. Dia
tidak kuasa menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. Hal yang
tidak pernah dia lakukan pun terjadi.
Dia menangis. Meluapkan seluruh emosinya. Tidak
perduli akan ada orang yang mendengar.
“Ya
tuhan, maafkanlah aku. Aku sudah gagal menjadi suami yang baik dan juga ayah
baik. Berikanlah aku kesempatan untuk membangun keluargaku, ya tuhan,”
Perlahan, kerlap kerlip keluar dari tubuhnya. Dia
merasakan jiwanya seperti ditarik paksa. Dia merintih kesakitan. Karena tidak
kuasa menahan sakit, kegelapan menyelimutinya.
“Whaaa!”
Tubuh kekar itu berbalur keringat.
Matanya menatap nanar. Telihat jelas wajahnya lebih
pucat dari biasanya. Dia meraba wajahnya dan mengambil sebuah cermin yang tepat
berada di sebelahnya. Wajahnya begitu sumringah setelah melihat wajahnya. Dia
kembali ke tubuh aslinya. Dia melihat ke sebelahnya dan melihat istrinya
tertidur dengan pulas. Dia ingat kembali dengan apa yang baru saja dia alami.
Dia mengelus rambut istrinya lembut. Gerakannya itu membuat tidurnya terganggu.
Mata keriput itu terbuka. Tepat di depannya kini sebuah senyuman yang hampir
tidak pernah dia lihat lagi tersungging di hadapannya, untuk dirinya. Hatinya
menghangat melihat senyuman yang hanya saat pernikahan mereka berdua kini
kembali ada.
“Selamat
pagi,” Suara yang benar – benar lembut. Berbeda dari yang biasanya. Tidak ada
lagi bentakan atau bahkan pukulan dan tamparan.
Entah apa yang membuat suaminya
berubah, dia sangat berterimakasih akan hal itu. Mereka berdua saling
berpelukan. Suami yang ingin memulai hal dari pertama. Istri yang memulai
hidupnya tanpa ada kekerasan lagi. Semua demi keluarga.
Tanpa mereka berdua ketahui, di
balik jendela kamar seorang anak perempuan mengintip. Air mata haru tampak
keluar dari kedua matanya. Doanya terkabul. Kini dia dapat melihat kedua orang
tuanya akur. Hal itu lebih penting baginya daripada semua hal di dunia ini. Dia
manangkupkan tangannya dan perlahan menutup matanya. Perlahan senyuman
mengembang di wajahnya yang manis. Bibirnya tampak mengeja sesuatu seraya
berbisik kepada ruang hampa,
“Terima
kasih, Tuhan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar