Rabu, 14 Juni 2017

Jumantari Kumpulan Cerita : Cerpen Switch Over

Switch Over

            Plak! Sebuah tamparan yang cukup keras mengenai pipinya. Ruam – ruam merah menghiasi pipinya. Dia mengusap bekas tamparan tadi. Tampak air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sedangkan pria yang menamparnya hanya memandang acuh tak acuh dan pergi begitu saja. Wanita paruh baya itu merunduk dan menangis dalam diam.

            Seorang anak perempuan meringkuk ketakutan. Dia tidak ingin melihat pertengkaran antara kedua orang tuanya lagi. Dia takut. Beruntung adiknya sudah terlelap sejak tadi. Dia tidak ingin adiknya melihat hal ini. Cukup dia saja. Dia memberanikan diri untuk mengintip dari jendela kamarnya. Dia melihat ibunya tengah menangis. Hatinya teriris, tentu saja. Dia marah kepada ayahnya.
            Pertengkaran dimulai hanya karena masalah kecil. Tetapi dampaknya berujung besar. Ayahnya tidak mengerti betapa lelah ibunya. Dia hanya menginginkan hasil yang bagus tanpa perduli akan proses. Seandainya dia mempunyai keberanian, dia akan membela ibunya. Tapi seandainya tetaplah seandainya. Dia tidak dapat berbuat apa – apa kecuali berdoa untuk keselamatan ibunya.
            Dia melangkah dengan gontai ke tempat tidur. Berbaring dan memeluk adiknya lembut, takut hal yang sama akan terjadi kepada adik semata wayangnya. Dia berdoa dalam hati agar ayahnya mendapatkan pelajaran. Dia perlahan menutup matanya tanpa mengetahui butir – butir jiwa melayang, mewujudkan doa dari seorang anak 7 tahun.
            Mata yang sembab itu terbuka perlahan. Dia mengerjapkan matanya, membiasakan dengan cahaya matahari yang menelusup dari balik korden. Dia melirik jam dinding. Pukul 6 pagi. Dia langsung bangun dan melihat ke sekitar. Dia melihat dirinya masih terbaring pulas. Ternyata dia masih –eh! Tunggu dulu. Dia melihat dirinya sendiri tertidur pulas. Dia bangun dan melihat ke cermin.
“Apa?!” Tubuh disebelahnya terusik dengan teriakan tadi.
“Kenapa kau teriak sepagi ini, hah?” Pria disebelahnya perlahan membuka matanya. Raut wajahnya menandakan tidak suka. Bukannya takut, wanita paruh baya itu mendekati pria tadi.
“Siapa kau?!” Teriak wanita. Pria paruh baya tadi tampak marah dan menyibakkan selimut dengan kasar. Dia bangun dan menjambak rambut wanita itu.
“Ah!” Wanita itu tampak meringis kesakitan. Dia memandang marah kepada pria disebelahnya.
“Kenapa kau ada di tubuhku?!” Pria tadi tampak bingung dengan perkataan wanita dihadapannya.
“Apa maksudmu, ini tubuhku!” Bentak pria tadi.
            Tarikan di rambutnya semakin keras, membuatnya merintih kesakitan. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia ingin melawan, tetapi kondisi fisiknya kini tidak mendukung. Jika saja dia tidak sedang berada di tubuh istrinya dia pasti dapat memukul pria di depannya ini.
Ya, kalian tidak salah dengar. Dia -Ayah Irma- berada di tubuh istrinya.
            Dia hanya dapat memberontak kecil dan itupun tidak berpengaruh. Perlawanan dari sang istri membuat amarahnya semakin memuncak. Tangannya sudah gatal untuk memberi istrinya pelajaran yang tak akan pernah terlupakan. Dia menampar pipi istrinya dan meninggalkan istrinya.
Sedangkan jiwa Ayah Irma baru mengetahui kondisi dari istrinya itu. Dalam tubuh itu, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Setiap akan melakukan sesuatu, tubuhnya akan meronta untuk berhenti. Hal itu sangat menyiksa baginya. Dia juga harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dia tidak dapat berhenti kecuali semua pekerjaannya selesai. Dia tidak dapat membantah karena peraturan itu dibuat olehnya, dengan tubuh aslinya. Dia menyesal telah membuat peraturan seperti itu tanpa mengetahui seberapa berat pekerjaanya. Sekarang dia menyesal.
Dia meringis saat tangannya tidak sengaja mengusap bekas tamparan itu. Rasa sakit langsung menjalar dan membuatnya semakin meringis. Dia mengistirahatkan tubuhnya setelah setengah pekerjaan terselesaikan. Itu hanya setengah, tetapi dia sudah sangat lelah. Sempat terbersit di pikirannya, bagaimana istrinya dapat menyelesaikan semua pekerjaan ini tanpa mengeluh akan lelah yang kini dia rasakan?
Dia ingat bekas tamparan tadi dan mengambil sebuah kapas juga obat merah. Dia meringis ketika obat merah itu mengenai bekas tamparan tadi. Dia tidak mengerti kenapa istrinya tidak melawan saat dia memperlakukan dirinya seperti ini. Dia merasa semakin bersalah. Pertama, karena dia tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai seorang suami karena tidak pernah memperdulikan kondisi istrinya sendiri. Kedua, karena dia telah membuat peraturan dengan semena – mena tanpa mengetahui kesusahan dalam mengerjakannya. Ketiga, dia telah menyakiti istrinya tanpa mengetahui bagaimana sakitnya diperlakukan seperti itu. Keempat dan yang paling penting, dia sendiri yang membuat keluarga yang telah dia bangun menjadi tidak harmonis. Dia tidak perduli dengan anak – anaknya yang melihat pertengkaran mereka berdua.
Mengingat semua hal itu membuat hatinya seperti teriris. Bagaikan ada ribuan jarum yang menusuk hatinya. Begitu sakit. Dia tidak kuasa menahan air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. Hal yang tidak pernah dia lakukan pun terjadi.
Dia menangis. Meluapkan seluruh emosinya. Tidak perduli akan ada orang yang mendengar.
“Ya tuhan, maafkanlah aku. Aku sudah gagal menjadi suami yang baik dan juga ayah baik. Berikanlah aku kesempatan untuk membangun keluargaku, ya tuhan,”
Perlahan, kerlap kerlip keluar dari tubuhnya. Dia merasakan jiwanya seperti ditarik paksa. Dia merintih kesakitan. Karena tidak kuasa menahan sakit, kegelapan menyelimutinya.
“Whaaa!” Tubuh kekar itu berbalur keringat.
Matanya menatap nanar. Telihat jelas wajahnya lebih pucat dari biasanya. Dia meraba wajahnya dan mengambil sebuah cermin yang tepat berada di sebelahnya. Wajahnya begitu sumringah setelah melihat wajahnya. Dia kembali ke tubuh aslinya. Dia melihat ke sebelahnya dan melihat istrinya tertidur dengan pulas. Dia ingat kembali dengan apa yang baru saja dia alami. Dia mengelus rambut istrinya lembut. Gerakannya itu membuat tidurnya terganggu. Mata keriput itu terbuka. Tepat di depannya kini sebuah senyuman yang hampir tidak pernah dia lihat lagi tersungging di hadapannya, untuk dirinya. Hatinya menghangat melihat senyuman yang hanya saat pernikahan mereka berdua kini kembali ada.
“Selamat pagi,” Suara yang benar – benar lembut. Berbeda dari yang biasanya. Tidak ada lagi bentakan atau bahkan pukulan dan tamparan.
            Entah apa yang membuat suaminya berubah, dia sangat berterimakasih akan hal itu. Mereka berdua saling berpelukan. Suami yang ingin memulai hal dari pertama. Istri yang memulai hidupnya tanpa ada kekerasan lagi. Semua demi keluarga.
            Tanpa mereka berdua ketahui, di balik jendela kamar seorang anak perempuan mengintip. Air mata haru tampak keluar dari kedua matanya. Doanya terkabul. Kini dia dapat melihat kedua orang tuanya akur. Hal itu lebih penting baginya daripada semua hal di dunia ini. Dia manangkupkan tangannya dan perlahan menutup matanya. Perlahan senyuman mengembang di wajahnya yang manis. Bibirnya tampak mengeja sesuatu seraya berbisik kepada ruang hampa,

“Terima kasih, Tuhan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar