Sabtu, 04 Februari 2017

Real 6, The Plan | Yamazaki Akira


The Plan


               Fahri menatap kedua tangannya yang bergemetar seraya tersenyum getir, menyesali dirinya yang lemah dan berlalu pergi bersamaan dengan kepergian Ayu dan Adit.

Tidak dapat memberikan alasan apapun akan kelemahannya itu. Hanya dapat berbohong dan menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya bahwa dia tidak sekuat kelihatannya. Mungkin dia bertubuh kekar, tetapi dia juga mempunyai kelemahan yang sangat fatal. Dia ingin berbagi masalahnya, sungguh tetapi dia takut jika mereka berkata bahwa dia berbohong dan malah menggunakan itu sebagai boomerang untuknya. Haa...dia menghela nafas lelah dan berusaha melupakan kejadian hari ini dan berharap Adit dan juga Ayu melupakannya juga. Tetapi itu hanya keinginan, bukan ?
Dia bertemu dengan Ayu tanpa Adit disampingnya dan saat Fahri bertanya tentang keberadaan Adit, Ayu hanya terdiam dan menatapnya penuh curiga. Fahri yang merasakan hal yang tidak enak berkeringat dingin dan menggaruk lehernya yang pasti tidak gatal.
“ Emm, ada apa ?” Ayu menggeleng dan kembali duduk di kursi taman itu membiarkan Fahri menghela nafas lega entah karena apa. Ayu yang memperhatikan gerak – geriknya semakin curiga dan menunggu waktu yang tepat untuk menanyakannya. Saat itu, taman sepi karena hari sudah malam tetapi belum terlalu larut hanya mereka berdua yang ada disana, jadi Ayu yakin tidak akan ada yang mendengar pembicaraan mereka. Dia mematikan ponselnya dan berusaha mengajak Fahri yang sedang memainkan ponselnya. Dia menarik tangan Fahri cukup kuat sehingga pantatnya terbentur lumayan keras dengan kursi taman.
“ Aduh, kamu kenapa sih, Yu?” Ayu meminta maaf kepada Fahri yang tampak kesakitan karena benturan tadi. Setelah Fahri menerima permintaan maafnya, Ayu langsung memasang tampang serius yang membuat Fahri melakukan hal yang sama dan duduk patuh di kursinya.
“ Kamu nyimpen rahasia, ya ?” Ayu langsung to the point tidak ingin bertele – tele karena terlalu penasaran dengan tokohnya ini. Seingatnya, dia tidak pernah membuat cerita dengan tokoh utamanya yang menyimpan rahasia. Fahri kembali menghela nafas pasrah tetapi tetep kekeh untuk tidak memberitahunya karena dia takut dianggap lemah bahkan oleh penciptanya sendiri dan akhirnya memilih untuk menggeleng. Tetapi bukan Ayu namanya jika mudah menyerah sehingga dia mendesak Fahri untuk segera mengatakannya. Awalnya, Fahri hanya membiarkan saja dan mengalihkan perhatiannya dengan memainkan ponselnya lagi. Tetapi Ayu yang begitu mendesaknya membuatnya jengah tetapi dia tetap tidak ingin memberitahunya dan tiba – tiba sebuah ide melintas di kepalanya, mungkin sedikit ekstrem tetapi hanya itu caranya. Dia menaruh kembali ponselnya di saku dan melihat kearah Ayu dan dengan cepat dia menangkupkan wajah tembem Ayu dengan kedua tangannya dan mendekatkan wajahnya sehingga wajah mereka sangat dekat.
“ Aku sudah bilang bukan, aku tidak apa – apa, mengerti ?” Fahri berbisik di telinga Ayu dengan sangat dekat sehingga dia dapat merasakan nafas hangat Fahri di telinganya yang membuatnya mengangguk dengan wajah memerah. Fahri yang melihat respon Ayu langsung menjauhkan tubuhnya seraya memberikan cengiran itu lagi. Ayu yang wajahnya masih tetap merah memukul pelan bahu Fahri seraya memalingkan wajahnya sedangkan Fahri meringis karena pukulan itu lumayan keras baginya. Fahri menghentikan ringisannya dan melihat bahwa hari sudah lumayan larut jadi dia memutuskan untuk pulang setelah berpamitan dengan Ayu dan meninggalkannya sendirian disana. Ayu melihat Fahri yang berjalan menjauh dan sedikit demi sedikit hilang dari pandangannya. Setelah yakin dia sudah pergi, dia menelpon seseorang dan tampak wajahnya yang menyeringai mengerikan yang pertama kali terukir di wajahnya.
“ Baik, aku tunggu besok!” Dia menutup teleponnya dan memasukkannya ke saku dan meninggalkan tempat itu sembari tetap menyeringai.
“ Maa... senyum kakak itu serem, hiks hiks” Seorang anak kecil yang sedang berjalan bersama ibunya berteriak dan akhirnya menangis ketika Ayu melewatinya dan melihat wajahnya. Ayu memerah malu ketika mendengarnya dan segera menghilangkan senyuman itu dan berlalu pergi dengan ibu dari anak itu yang berusaha untuk menenangkan anaknya.
Siraman air itu berhenti dan pintu tampak terbuka yang mengepulkan uap yang cukup banyak. Ayu keluar dari sana dengan rambut basah yang airnya turun meluncur ke lantai putih. Dia menggosoknya seraya berjalan kearah ponselnya yang bergetar dan benar saja ada sebuah pesan yang masuk. Dia membukanya dan ternyata pesan dari editornya.
Apakah naskahmu sudah kamu buat ?  Ayu menepuk jidat, lupa akan tugasnya dan membalas dengan cepat,
Iya, sudah jadi setengah kok  Dia tidak sepenuhnya berbohong, dia memang sudah membuatnya tetapi hanya setengah. Setelah pesannya terkirim, dia menaruh handuk yang dia pakai dan akhirnya mendudukkan diri di kursi yang biasa dia pakai untuk bekerja. Dia menyalakan laptopnya dan mulai menyusun kata – kata dan membiarkan dia terhanyut ke dalam pekerjaannya. Dia tidak ingin menunda waktu lagi dan lebih memilih untuk menyelasaikannya sekarang dan begadang karena ada sesuatu yang menunggu untuk dilaksanakan esok hari. Pekerjaannya terhenti karena ingat akan sesuatu dan mengambil ponselnya dan mengetik nomer yang sudah dia ingat di luar kepala, Fahri.
Besok bisa bertemu ?
Tentu, dimana ?
Bagaimana jika di taman tadi sore ?
Sore ? Dia tampak menimang waktu yang akan digunakan saat pertemuan nanti, dia akhirnya menggangguk da mengetikkan pesan balasan.
Iya
Baiklah    Dia menutup ponselnya dan menaruhnya kembali, berharap besok akan berjalan lancar. Dia melanjutkan cerita yang baru selesai setengah itu dan membiarkan keheningan malam yang menjadi pengantarnya.
Seseorang tampak duduk melamun tanpa melihat kearah yang jelas. Wajahnya berpangku tangan. Dia sesekali mengecek ponselnya jika ada pesan darinya, tetapi lama dia menunggu dia belum datang juga. Dia melihat jam tangannya yang terpasang rapi di tangan kirinya, dan melihat dia sudah terlambat 15 menit.
“ Fahri!” Hampir saja dia terbangun dari tempat duduknya, seseorang tiba – tiba memanggilnya. Dia melihat dari kejauhan seorang perempuan yang sangat dia kenali mendekat seraya melambaikan tangannya. Dia berhenti tepat di depannya dengan nafas tersengal – sengal.
“ Aduh, maaf ya Fahri, tadi macet di jalan, sekali lagi maaf ya?” Ayu mencakupkan tangannya dan meminta maaf kepada Fahri yang hanya mengehela nafas maklum dan mengangguk. Ayu yang melihatnya tersenyum lebar dan menarik tangan Fahri.
“ E- eh, kemana, Yu?” Fahri terkejut saat Ayu menarik tangannya secara tiba – tiba dan mengajaknya entah kemana. Saat ditanya dia tetap terdiam tanpa mengatakan apapun jadi dia hanya diam dan mengikutinya saja. Mereka berjalan cukup jauh sampai suara – suara dibelakang mereka perlahan menghilang, tetapi mereka belum berhenti juga. Akhirnya mereka, terutama  Ayu berhenti di bagian lain taman yang berdekatan dengan sebuah hutan yang lumayan gelap sehingga hanya ada mereka saja disini. Ayu melepaskan pegangannya yang membuat Fahri kecewa.
“ Kenapa kesini?” Fahri bertanya kepada Ayu yang mencari tempat untuk mereka duduki dan akhirnya memilih batu yang lumayan besar dan juga datar. Fahri membantunya membersihkan daun yang berserakan di atasnya.
“ Yah, disini kan sepi nggak ada orang, jadi kita leluasa untuk berbicara, bukan?” Fahri hanya mengangguk paham akan penjelasan Ayu yang lumayan logis. Jadi dia duduk bersebelahan dengan Ayu yang sedang menikmati semilir angin yang melewati pepohonan.
“ Jadi, kenapa kau memanggilku?” Fahri menatap Ayu penuh tanya. Ayu yang mengingat hal itu menepuk jidatnya dan mengeluarkan buku matematika yang dia ambil dalam tas kecilnya. Fahri tidak menyadari bahwa Ayu membawa tas selempang kecil berwarna biru muda yang sepertinya hanya berisi ponsel dan buku matematika tadi. Ayu menanyakannya tenatng pelajaran yang belum dia mengerti dan berkata jika itu kemungkinan akan dimunculkan saat ulangan nanti. Mereka pun akhirnya terlarut dalam diskusi itu sampai tidak ada yang sadar jika mereka berdua sedang diawasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar