Minggu, 12 Februari 2017

Real 9, Sayonara | Yamazaki Akira

Sayonara

“ Berhenti melindungiku seakan diriku ini lemah!” Fahri berteriak kepada Ayu yang membuat Ayu terdiam membisu dan menundukan kepalanya.

Keheningan menyapa mereka karena ini hanyalah awal dari petualangan mereka sesungguhnya. Fahri berusaha untuk tidak perduli dan meninggalkan Ayu sendiri di sana.
“ Apa begini rasa terima kasihmu?” Fahri berhenti tetapi tidak berbalik ke arah Ayu. Dia terdiam membisu mendengarnya. Ayu masih tetap terdiam di sana, tidak ingin memulai.
“ Hiks...Hiks” Fahri membalikkan badannya secara tiba – tiba, terkejut akan suara tangisan yang ternyata berasal dari Ayu. Air matanya meluncur melewati pipi tembemnya dan matanya memerah karena air mata. Tiba – tiba sebuah perasaan bersalah menyelusup ke dalam hatinya melihat hal itu. Dia merasa telah melakukan sebuah dosa besar bahkan mungkin lebih besar daripada perampok kemarin. Dia merasa seperti sampah atau mungkin lebih buruk. Dia menimang beberapa saat dan akhirnya menghela nafas dan mendekati Ayu dan langsung memeluknya erat.
“ Maafkan aku,” Fahri berbisik tepat di telinganya tetapi tangisan Ayu tidak berhenti juga. Kebingungan, Fahri memikirkan cara untuk menghentikan tangisan itu. Tidak menemukan  cara apapun, dia akhirnya tetap memeluk Ayu.
“ Apa salahku?” Ayu mengangkat wajahnya dan menatap Fahri dalam. Sedangkan Fahri yang ditatap seperti itu merasa canggung dan menggaruk belakang lehernya.
“ Emm aku hanya ingin kau bersikap biasa saja bukannya bertindak bagaikan pengawalku.”
“ Tetapi aku ingin melindungimu!” Dia berteriak kepada Fahri walaupun masih diiringi dengan segukan. Fahri yang diteriaki menghela nafas, mengalah.
“ Baiklah, maafkan aku. Aku hanya ingin kau tidak terluka.” Ayu kembali menenggelamkan wajahnya di tubuh Fahri yang telah memberikannya kehangatan itu. Dihirupnya aroma daun mint yang maskulin dari tubuh Fahri yang membuatnya sedikit tenang. Dia menutup matanya dan menghirup bau itu sepuasnya. Sedangkan Fahri membiarkan dagunya bertopang pada kepala Ayu. Aroma buah jeruk menyapa indera penciumannya membuatnya betah untuk menghirup bau buah tropis itu. Keheningan menyelimuti. Membiarkan mereka berdua saling berbagi kehangatan yang hanya dapat mereka rasakan sendiri.
Tiba – tiba sebuah peluru melesat kearah mereka yang untungnya meleset dan mengenai batang pohon di belakang mereka, tetapi suaranya yang keras cukup untuk membuat kedua pasangan itu mengalihkan pandangannya.
“ Cih, meleset.” Sebuah suara yang sepertinya berasal dari semak – semak itu perlahan menunjukkan dirinya, tetapi bukan hanya satu ternyata ada 3 orang yang mengepung mereka. Mereka tampak memakai syal dengan warna yang berbeda – beda untuk menutupi mulut mereka. Orang yang menggunakan syal merah menunjuk mereka dengan pistolnya.
“ Apa kalian mengingatku?”
“ Kau!” Fahri menunjuk wajah orang itu yang masih membekas di ingatannya. Orang itu menyeringai dan terkekeh.
“ Heh, ternyata kau masih mengingatku, hah?” Wajah orang itu ternyata adalah perampok yang menyerang mereka kemarin yang entah kenapa bisa lolos. Fahri berkeringat dingin karena dalam situasi seperti ini dia tidak dapat melakukan apapun dan dia ragu jika Ayu dapat mengatasi mereka.
“ Kalian harus menerima pembalasanku!” Perampok itu tampak mengkomando 2 orang lainnya dan dengan sigap Ayu dan juga Fahri memasang kuda – kuda mereka, bersiap untuk bertarung. Kedua orang itu mendekat dan mencari lawan mereka masing – masing. Ayu mendapatkan orang yang memakai syal berwarna kuning cerah sedangkan Fahri yang bersyal ungu. Ayu cukup gesit dalam menghindari pukulan dari orang itu sampai akhirnya perampok itu kewalahan. Ayu tersenyum bangga dan dengan sigap memukul tengkuk perampok itu, tetapi ternyata perampok itu masih menyimpan tenaganya sehingga dia menarik tangan Ayu dan membalikkan posisi menjadi dia yang berada di belakang Ayu dan mengunci lengannya. Tetapi Ayu tidak menyerah hanya sampai di sana, dia menginjak kaki perampok itu sehingga dia menjerit dan dia membenturkan kepalanya ke kepala perampok itu dan akhirnya diapun berhasil hanya dengan bekal ilmu beladiri dan juga kepala yang kuat tentunya. Setelah yakin bahwa lawannya tumbang dan tidak sadarkan diri, dia berlari ke tempat Fahri. Dia tampak melawan orang yang memakai syal berwarna ungu. Orang itu memukul Fahri secara bertubi – tubi dan Fahri juga tampak lincah untuk menghindar.
Dia mendekati Fahri dan berusaha membantunya.
“ Kau tidak apa – apa?” Punggung mereka saling berbenturan karena sang ketua telah ikut dalam pertarungan itu.
“ Ya, kau bagaimana?”
“ Tidak ada yang berarti” Mereka melawan bersama dan saling melindungi. Ayu tampak berusaha keras untuk dapat memukul si ketua dan berhasil, dia memukul perutnya cukup keras sehingga dia mundur kebelakang. Tetapi dia tampak merogoh sesuatu dari balik bajunya dan ternyata itu adalah sebuah cambuk. Perampok itu mencambuk ke arah Ayu yang untungnya tidak mengenainya. Perampok itu akhirnya mempunyai rencana licik yaitu dia melempar beberapa pasir saat Ayu cukup dekat dengannya sehingga dia mundur kebelakang seraya menutup matanya yang perih. Perampok itu memakai kesempatan itu dan mengikatnya dengan dengan cambuk di pohon. Dia melihat ke arah bawahannya yang tampak kewalahan melawan lawannya.
“ Diam di sini!” Perampok itu berlari dan membantu anak buahnya. Fahri yang melihat hal itu semakin kewalahan karena dia hanya dapat menangkis saja. Dia menoleh dan melihat Ayu yang sedang terikat di sebuah pohon dengan wajah yang kesakitan.
“ Pergilah, Fahri!” Ayu berteriak sekuat tenaga kepada Fahri. Dia tidak ingin dia menyakiti mereka atau dia akan menghilang. Fahri terperangah dan akhirnya tersenyum dan menggeleng, kembali fokus ke pertarungan. Dia memasang kuda – kuda bertarung dan entah kenapa auranya lebih bersaing daripada sebelumnya.
“ Jangan,” Ayu berbisik seraya menggeleng merasakan aura Fahri yang jauh berbeda. Orang dengan syal berwarna ungu berlari ke arahnya. Fahri langsung memukul perut orang itu sehingga orang itu terjatuh karena pukulan yang terlampau keras. Sang ketua pun akhirnya maju. Dia mengambil salah satu cambuknya dan mencambuk ke arah Fahri yang langsung dihindari olehnya. Begitu seterusnya Fahri hanya dapat menghindar karena serangan membabi buta itu. Sang ketua tertawa keras, bangga karena melihat lawannya yang tidak dapat melakukan apapun. Fahri perlahan mendekati ketua yang lengah dan akhirnya dia memukul perutnya yang membuat sang ketua meundur kebelakang. Wajah bengis terpampang di wajah sang ketua. Dia mengambil cambuk keduanya dan langsung mencabuk lengan Fahri sehingga terdapat goresan yang tampak mengeluarkan darah. Fahri terdiam walaupun tubuhnya dicambuk secara terus – menerus.
“ Fahri!” Ayu berteriak melihat kondisi Fahri yang mendengarnya langsung mengangkat kepalanya dan menunjukkan wajahnya yang menyiratkan kemarahan. Matanya berubah menjadi merah dan senyuman bengis terpatri di wajahnya membuat sang ketua sedikit ketakutan. Dia berlari dan tidak menghiraukan cambukan di tubuhnya. Sampai akhirnya dia berada tepat di depannya dan memukul wajah itu berkali – kali. Dia mengambil cambuk yang dilepaskan oleh si ketua dan mencambuk tubuh itu walaupun dia tahu bahwa tubuh itu sudah tidak bergerak tetapi dia tahu bahwa dia juga tidak mati.
“ Hentikan!” Ayu berteriak dan berlari saat dia berhasil lepas dari cambuk itu. Dia memeluk Fahri dari belakang membuat cambuk dalam pegangannya terlepas. Wajah itu perlahan menghilangkan senyuman bengis itu dan matanya kembali ke warnanya yang semula. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Ayu dan kembali memeluk tubuh yang lebih mungil dari miliknya. Membiarkan air mata Ayu membasahi bajunya dia menghirup aroma Ayu dalam – dalam untuk terakhir kalinya.
“ Ssshhh, diamlah,” Fahri mengelus rambut Ayu dan mengangkat dagu Ayu dengan ibu jari dan telunjuknya.
“ Aku akan segera pergi, aku tidak dapat memberikan apapun.” Dia perlahan mendekatkan wajahnya kepada Ayu dan mencium bibir itu lembut. Hanya ciuman biasa tidak ada nafsu di dalamnya, hanya sebagai pengantar rasa mereka berdua. Ayu menutup matanya membiarkan ciuman ini menghanyutkannya. Perlahan tubuh Fahri bercahaya dan menjadi butir – butir cahaya yang indah yang melayang ke udara. Perlahan dari bawah, cahaya itu lepas dari tubuh Fahri, tetapi bibir itu masih tetap terpaut, tidak ingin lepas. Hingga hanya tersisa baju yang dipakainya yang membuat Ayu terjatuh sembari tetap memeluk baju itu dan menangis terisak akan kepergian Fahri. Dia akhirnya terbangun dan tetap membawa baju itu dalam dekapannya. Perlahan melangkah keluar dari hutan itu dan seiring langkahnya begitu pula memori saat bersama Fahri melintas di pikirannya. Satu persatu memori muncul di pikirannya yang membuatnya perlahan tersenyum dan akhirnya dia telah keluar dari taman itu. Dia tersenyum dan melihat ke langit, tersenyum lembut yang dia tunjukkan ke Fahri dan pergi dengan baju itu masih dalam dekapannya.

12 Februari 2017, Stasiun Kereta Api

Orang – orang berkerumun di tempat itu saat melihat seorang wanita berambut hitam yang dikenal sebagai penulis novel itu turun dari kereta api yang baru saja tiba yang langsung dikerumuni oleh fansnya. Mereka meminta tanda tangan darinya di novel yang baru saja dia selesaikan. Tentang pengalaman pribadinya. Perlahan mereka pergi dan meninggalkannya. Dia mengambil tasnya dan berjalan pergi dari stasiun itu. Dia menoleh dan bayangan Fahri di kaca jendela Fahri yang tersenyum kearahnya dengan senyuman yang sangat dia rindukan dan dia membalasnya dengan senyuman lembut. Dia pergi meninggalkan tempat itu seraya tersenyum lembut, membiarkan bayangan itu berubah menjadi kekuatan untuknya dan menyadarkannya bahwa dia ada dan selalu mendukungnya walaupun tidak terlihat.



- End -



Tidak ada komentar:

Posting Komentar