ENDING
Langit berhias kapas putih, mentari mulai menampakan dirinya. Dengan perlahan sinarnya mengintip dari rimbunnya pepohonan. Walau masih pagi, kendaraan telah memenuhi jalan raya. Mahluk besi tersebut tidak pernah berhenti untuk meramaikan jalan. Orang – orang telah bangun dan mulai menjalani kehidupannya. Tak terkecuali dengan Ryan, seorang siswa sekolah menengah atas yang telah siap dengan seragam serta kacamata kuno berframe hitam yang selalu bertengger di hidungnya.
Memastikan semuanya lengkap, dia segera berangkat menuju halte bis terdekat karena jarak antara rumahnya dengan sekolah lumayan jauh. Dia melihat beberapa siswi dari sekolahnya. Mereka cekikikan seraya mencuri pandang kearahnya. Tidak mengacuhkannya, dia mulai naik ke bus saat dilihatnya bus itu sudah tiba. Dia mencari tempat duduk kosong dan di bangku paling belakang ada sebuah tempat duduk kosong. Saat dia hampir mencapainya, tiba – tiba seorang anak laki – laki dengan sengaja menjulurkan kakinya, sehingga Ryan yang tidak melihatnya langsung terjatuh dan dia ditertawakan oleh semua orang di bus itu. Sedangkan anak laki – laki tadi tertawa dan berhigh five dengan temannya. Ryan kembali berdiri dan duduk di kursi paling belakang. Saat bus melaju, Ryan hanya membaca bukunya dan berusaha untuk tidak mengacuhkan ejekan – ejekan disekelilingnya.
Bus berhenti, semua siswa mulai berebut untuk keluar, sedangkan Ryan hanya menunggu paling belakang. Ryan keluar paling belakang dan berjalan seraya menunduk. Siswa – siswi yang melihatnya hanya mengernyit dan mengejeknya. Hanya tinggal selangkah lagi untuk mencapai lokernya, tiba – tiba dia diguyur dengan air kotor.
“ Bagaimana culun, enak bukan?” Ucap seorang anak laki – laki betubuh gempal. Dia tertawa sangat keras sampai perutnya berguncang.
“ Tidak perlu berterimakasih padaku,” Ucap anak lain yang memegang tali yang sepertinya diikat ke ember yang menyiraminya tadi. Menahan amarah, dia mengepalkan tangannya dan meninggalkan siswa lainnya yang masih menertawai dirinya. Dia tidak memperdulikan sekolahnya dan meninggalkan sekolah untuk mencari taksi dan pulang. Saat dia melewati sebuah gang, dia tidak sengaja melihat laki – laki yang mengerjainya di bus tadi bersama seorang temannya tengah membicarakan sesuatu. Penasaran, dia mencoba mendekati mereka dan bersembunyi di balik tumpukan sampah.
Mereka terlihat memegang sesuatu. Dilihatnya benda itu dari jauh, dan dia merasa tidak asing dengan benda tersebut. Mengucek matanya tidak percaya, dan dapat dilihanya barang itu dengan jelas, ‘ Narkoba!’ pekiknya dalam hati. Tidak ingin terlibat lebih jauh, dia mundur secara perlahan,
Prrraaannngggg......
“ Sial !” Umpatnya saat tidak sengaja dia menyenggol sebuah tong sampah di dekatnya.
“ Hei !” Teriak seorang dari mereka. Dengan cepat Ryan berlari, tetapi karena fisiknya yang memang lemah, dia berhasil ditangkap dan diseret ke gang itu lagi. Mereka memojokkannya ke dinding,
“ Eh, apa yang lo lakuin di sini hah ?!” Bentak laki – laki yang menyeretnya tadi. Saat laki – laki itu ingin memukulnya, temannya menahannya dan tampak membisikkan sesuatu. Ryan yang terlalu takut hanya menyilangkan tangannya, bersiap menerima pukulan. Laki – laki tadi menyeringai setelah mendengar bisikan dari temannya dan kembali memandang Ryan,
“ Hei, kita nggak bakal mukul lo, tetapi lo harus mau cobain ini !” Laki – laki tadi memberikannya sebuah jarum suntik yang sepertinya berisi morfin. Ryan menatap nanar jarum suntik tersebut dan menggeleng sekeras – kerasnya, tetapi laki – laki tersebut tampak sudah habis kesabarannya dan dengan paksa menggenggam tangan Ryan. Dia memberontak tetapi semua hanya sia – sia dan akhirnya dia hanya dapat menutup matanya dan berharap ini hanyalah sebuah mimpi.
“ Hei, apa yang kalian lakukan ?!” Tiba – tiba seseorang berteriak sehingga jarum suntik itu tidak mengenai dirinya. Dia mendengar kedua orang itu pergi dan dengan perlahan dia memberanikan untuk membuka matanya. Saat membuka matanya betapa terkejutnya ketika yang menyelamatkannya adalah Abinaya Alexi atau kerap disapa Alex, seorang idola sekolah.
Alex mendekat seraya tersenyum kearahnya,
“ Apakah kau baik – baik saja ?” Alex menatapnya khawatir dan mengguncang bahunya. Ryan yang masih terkejut hanya mengangguk dan memaksa senyumannya. Alex tampak menghela nafas lelah akan sikap Ryan, sahabatnya. Dia pun memberikan jaketnya kepada Ryan karena melihat bajunya yang basah. Alex mengajaknya ke sebuah taman dan membiarkan tubuh mereka berdua tidur terlentang beralaskan rumput hijau seraya memandang langit biru tanpa awan. Hanya keheningan yang berada di antara mereka tetapi itulah yang disukai oleh Alex dari Ryan. Ryan tidak pernah mempermasalahkan tentang dirinya yang merupakan seorang idola sekolah dan tidak pernah terlalu menjunjungnya.
“ Ryan, kenapa ?” Ryan menoleh ke arah Alex dan mengangkat alisnya tidak mengerti.
“ Kenapa kau mau saja diperlakukan seperti itu. Seharusnya kau melaporkannya, mereka sudah keterlaluan !” Ucap Alex kepada Ryan yang masih setia menatap sang langit. Dia hanya mengangkat bahu dan keheningan kembali menyelimuti mereka.
“ Itu tidak penting Alex. Buat apa aku melaporkan mereka, itu hanya percuma saja, jadi biarkanlah semuanya berlalu dengan sendirinya.” Angin berhembus perlahan dan membelai wajah mereka. Ryan mengingat kejadian beberapa menit yang lalu dan teringat dengan satu hal.
“Alex, aku ingin menanyakan sesuatu padamu. Apakah kau tahu apa yang mereka bawa tadi ?” Tiba – tiba Alex tersentak ketika mendengar pertanyaan Ryan, tetapi dia tenang kembali,
“ Tidak, memang apa yang mereka bawa ?” Ryan merasakan sesuatu yang aneh pada nada suara sahabatnya yang dingin. Dia hanya mengangkat bahu,
“ Sepertinya itu narkoba jenis jarum suntik. Aku tidak tahu kenapa bisa barang haram itu ada di sini terutama di sekolah kita. Bagaimana menurutmu ?” Lirih Ryan, tetapi masih dapat didengar oleh Alex,
“ I have no idea.” Mereka berdua menutup matanya dan membiarkan angin sore membelai lembut wajah mereka dalam bisu.
Alex melihat langit yang tampak diselimuti dengan selimut berwarna hitam. Melihat hal itu, dia membangunkan Ryan yang tampak sedang tertidur pulas,
“ Hei, Bangun !” Dia mengguncang badan Ryan. Ryan membuka matanya dan menguap lebar, tertanda dia masih ingin tidur lagi.
“ Ryan, ayo kita pulang, sudah mau hujan nih !” Tangan Ryan ditarik oleh Alex dan Ryan yang masih sedikit mengantuk hanya menganguk dan masuk ke mobil Alex. Dalam perjalanan pulang, Alex hanya terdiam sedangkan Ryan sudah kembali ke alam mimpi. Dia yang melihat Ryan hanya tersenyum dan kembali melihat ke arah jalan yang sepi. Sampai di rumah Ryan, dia membangunkannya. Perlahan kelopak mata itu terbuka dan melihat bahwa ini adalah di depan rumahnya. Dia mengucapkan terima kasih kepada Alex dan segera turun. Alex hanya mengangguk dan memacu kembali mobilnya.
Keesokan harinya, kehidupan kedua sahabat itu berjalan seperti biasa. Alex yang selalu menjadi idola sekolah dan Ryan yang selalu menjadi target bullying, tetapi Alex akan terus berada di sana untuk melindungi sahabatnya. Saat ini adalah jam olahraga dan olahraga kali ini mengenai basket. Ryan yang memang tidak begitu jago hanya duduk dan melihat teman – temannya yang sedang bermain bola basket. Tidak lama kemudian, dia melihat Alex yang sedang menuju ke arahnya. Rambut hitamnya basah akan keringat dan baju olahraga yang tidak beda jauh dari rambutnya.
“ Ryan, nggak pengen main ?” Tanya Alex tanpa menoleh ke arah Ryan. Dia memperhatikan teman – teman yang lain sedang bermain bola basket sampai ada beberapa yang terpeleset dan membuatnya cekikikan.
“ Alex, kenapa kau mau berteman denganku ?” seketika tawa Alex berhenti dan kemudian dia menoleh ke arah Ryan seraya tersenyum,
“ Aku tidak tahu, tetapi yang ingin aku tanya padamu adalah, kenapa persahabatan harus memiliki sebuah alasan untuk berada di dalamnya ?” Ryan yang mendengarnya hanya menggelengkan kepala bahwa dia juga tidak tahu. Ryan mengalihkan pandangannya kearah langit biru tanpa awan seraya tetap tersenyum,
“ Persahabatan yang berarti sebuah ikatan yang akan terus terjalin walaupun kau tidak di muka bumi ini. Aku juga ingin seperti itu akan ada yang mengingatku untuk hari ini, esok dan selamanya.” Saat itu Ryan melihat untuk pertama kalinya Alex, yang terkenal dengan sikapnya yang ceria, memberikan sebuah senyuman yang sulit diartikan.
“ Apa maksudmu ?” Ryan mengerutkan kening tidak mengerti akan perkataan sahabatnya. Alex tidak menjawab, tetepi senyum itu masih terpatri di wajahnya.
“ Nah, tidak usah dipikirkan, nanti otakmu yang kecil itu meledak.” Alex bangun sambil mengacak rambut Ryan. Ryan yang diperlakukan seperti itu hanya cemberut dan bangun untuk berbaris karena sepertinya jam olahraga sudah selesai. Saat dibubarkan, semua siswa berhamburan untuk segera pulang. Ryan selalu pulang bersama Alex. Dia naik ke mobil Alex yang segera memacu mobilnya setelah Ryan naik. Ryan bingung saat melihat bahwa arah yang dituju bukanlah rumahnya ataupun rumah Alex.
“ Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” Kata Alex seakan mengetahui isi pikiran Ryan yang hanya mengangguk dan melihat jalan yang agak asing karena daerah yang mereka lewati semakin sepi.
Tiba – tiba mobil Alex berhenti. Ryan pun turun setelah mengetahui bila Alex telah mendahuluinya. Betapa takjub dirinya saat melihat pamandangan di depannya, sebuah pemandangan laut yang sangat indah. Saat ini mereka tengah berada di sebuah tebing dan di depan mereka terpampang luasnya laut yang seperi belum terjamah oleh manusia.
“ Aku ingin kau melihat ini karena kaulah satu – satunya sahabatku. Laut ini adalah tempat favoritku. Dia mengingatkanku akan perjalanan hidupku. Sama seperti ombak yang berdebur halus, aku juga berusaha untuk membuat semua orang memperhatikanku. Seperti teriknya sinar matahari, aku selalu ingin menjadi sinar yang terik dengan usahaku sendiri dan pasir putih, aku selalu ingin menemukan akhir yang bahagia.” Alex terus bercerita dan Ryan hanya termenung mendengar perkataannya. Alex tampak sangat bersemangat saat bercerita dan Ryan tersenyum saat mengetahui senyum palsu itu telah hilang. Mereka memilih untuk tetap diam disana untuk mengahabiskan waktu dan bermain pasir bahkan ombak. Keduanya tertawa dan membiarkan semua masalah yang pernah mereka rasakan menguap bersama aliran ombak. Merekapun pulang saat melihat matahari yang hampir terbenam. Tiba di rumah Ryan, Alex memberhentikan mobilnya. Saat Ryan akan turun, tiba – tiba tanganya digenggam oleh Alex,
“ Ryan, terima kasih karena kau telah membuat suatu akhir yang sangat menyenangkan, terima kasih,” Ryan yang tidak mengerti hanya mengangguk dan Alex pun memacu mobilnya.
Selama beberapa hari, tidak ada kabar apapun dari Alex dan itu membuat Ryan khawatir. Dia ingin pergi kerumah temannya itu, tetapi akhir – akhir ini orang tuanya melarangnya pergi kerumah Alex. Dia tidak tahu mengapa, tetapi hari ini dia merasakan firasat buruk tentangnya. Akhirnya, dia bertekad untuk pergi ke rumahnya secara diam – diam. Dia menyelinap melalui kaca jendela dikamarnya dan menggunakan taksi untuk pergi ke rumah Alex. Sampai di rumahnya, dia melihat ada banyak orang di sana dan juga orang tuanya yang terkejut melihatnya, tetapi tidak ada Alex di sana,
“ Mama, di mana Alex, tante Alex di mana ?” Dia bertanya kepada ibunya dan ibu Alex yang sedang menangis. Tidak sabar, dia menerobos kerumunan itu dan melihat seseorang yang ditutupi kain putih dan yang paling membuatnya terkejut, itu adalah sahabatnya, Alex. Perlahan tetesan air matanya turun, membasahi pipinya sembari menggenggam erat kain putih itu.
“ Kenapa, kenapa kau menjadi seperti ini, ke mana leluconmu yang menyebalkan dan senyummu itu, kau ingin melihatku menangis, selamat kau berhasil jadi bangunlah bodoh, bangun ?!” Dia mengguncang tubuh itu seraya menangis melihat sahabatnya yang paling dia sayangi telah meniggalkannya. Dia tidak dapat percaya bahwa sahabatnya pergi. Tiba – tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya yang ternyata adalah ayahnya Alex.
“ Ryan, Alex ingin paman memberitahukan sesuatu padamu. Kau tahu, dulu sebelum kalian berteman, Alex adalah pribadi yang sama denganmu. Hingga seseorang datang padanya dan menawarkan kebahagiaan padanya. Dia mengajarkan gaya hidupnya, seperti memakai narkoba dan sex bebas.” Ryan terkejut mendengarnya. Alex yang ceria ternyata dulu dia adalah seorang yang sama sepertinya dan seorang pecandu.
“ Dia akhirnya terjerumus ke dalam dunia malam. Dia menjadi pecandu narkoba, dan sering melakukannya bahkan dihadapan kami. Dia juga sering membawa wanita asing ke rumah ini. Paman sudah beberapa kali menasihatinya tetapi tidak diacuhkan.” Ayah Alex tampak menyesal saat menceritakannya. Menarik nafas, dia kembali melanjutkan,
“ Sampai suatu hari, dia terjangkit HIV/AIDS dan hampir bunuh diri, tetapi hal itu diurungkannya saat melihat dirimu, Ryan. Kau mengingatkannya pada dirinya dulu dan sejak itu Alex melindungimu walau diam-diam dan akhirnya kalian berteman. Sejak saat itu dia berjanji dengan dirinya sendiri untuk membuatmu menemukan akhir tanpa harus melalui hal yang sama seperti dirinya.” Ryan tidak dapat membendung tangisnya dan membiarkannya keluar. Dia menatap Alex,
“ Aku akan menemukan akhirku sendiri dan juga akan membantu yang lain untuk tak menemukan akhir yang sama seperti ini. Kau, Alex, sahabatku, terima kasih banyak atas akhir yang telah kau berikan dan terima kasih karena telah memberikanku kesempatan untuk memilih akhir yang bahagia.” Dia berusaha tersenyum walau air mata terus mengalir dari kedua matanya dan sejak saat itu Ryan berubah untuk membantu orang lain dalam menemukan akhirnya sendiri tanpa harus melalui hal yang sama seperti sahabatnya. Terima kasih, Alex.
Walau awalnya sedikit binggung saat terus ku baca sampai ending hati ku trenyuh jika tak ingat keberadaan ku pasti aku nya nangis.
BalasHapusBaguss banget penuh dgn nasehat. Siipppp
wah, nih aku kasih tisu biat kamu hehehe
Hapusterima kasih ya ^-^
Tulisannya bagus banget, ceritanya penuh makna👍 lanjutkan👍
BalasHapusWaahhh makasi
HapusTapi maaf nggk ad lanjutannya, baca yang lain aj deh, ya?