Senin, 30 Januari 2017

Real 4, Kepercayaan | Yamazaki Akira

Kepercayaan


“ Astaga, Fahri !” Aku memakai pakaianku tergesa – gesa dan memakai parfum yang lumayan banyak sebagai pengganti aku tidak mandi.
Persetan dengan mandi, aku lebih peduli dengan seseorang yang mungkin kelelahan menungguku di taman.  Dengan cepat aku mengeluarkan motorku dari garasi setelah berpamitan kepada ibu yang tengah bersih – bersih.  Taman saat itu lumayan sepi karena cuaca yang sedikit mendung. Aku melihat sekeliling taman dan berharap dapat menemukan Fahri secepatnya, tetapi sepertinya aku harus kecewa karena tidak dapat menemukannya di manapun. Aku merasa menyesal karena telah melanggar janjiku sendiri.
            Tiba – tiba sesuatu yang bersuhu dingin menempel di pipiku yang membuatku menoleh dengan cepat dan menemukan fahri dengan cengiran khasnya tengah memegang 2 es cone di tangannya. Aku terkejut ketika melihatnya dan sedikit malu karena aku amat sangat terlambat.
“ Fahri, maafkan aku,” Aku menundukkan wajahku seraya menggenggam tangan gugup. Es cone vanilla tamapk di depan wajahku sehingga aku mengangkat kepalaku dan melihatnya tersenyum seraya menyodorkan es cone vanilla itu.
“ Tidak apa kok, lagi pula aku juga ingin menikmati waktuku sebelum ini berakhir. “ Aku mengambil es itu dan menjilatinya sedangkan dia melakukan hal yang sama bahkan sampai menjilati tangannya karena es yang meleleh. Dia duduk di bangku yang berada di samping kami dan aku pun melakukan hal yang sama. Kami hanya berfokus untuk menghabiskan es cone itu dalam keheningan. Sepertinya cuaca mendung begini membuatku agak panas sehingga aku tidak menyangka es coneku telah habis duluan daripada Fahri.
“ Emmm Fahri,” Fahri melihatku seraya menggigit habis cone itu seraya menaikkan alisnya, bingung.
“ Tadi kau bilang sebelum ini berakhir, apa maksudnya ?” Aku memerengkan kepala sedikit untuk menerima penjelasannya, tetapi wajahnya membuatku merasa sedikit bersalah. Terlihat raut wajahnya menegang saat aku menanyakan hal itu kepadanya. Dia memberikanku senyuman yang tampak menyimpan banyak misteri di dalamnya.
“ Jadi kau penasaran, ya ?” Aku mengangguk dengan antusias dan dia menghela nafas yang entah kenapa suasana berubah menjadi serius.
“ Ayu, kaukah itu ?” Sebuah suara menginterupsi percakapan kami. Aku menoleh karena sangat mengenal suara itu dan ternyata benar, itu adalah Aditya. Dia tampak membawa barang belanjaan di kedua tangannya dengan sedikit kerepotan. Dia tampak bernafas lega karena tahu bahwa itu memang aku dan mendudukan diri tepat diantara aku dan Fahri. Dia sepertinya tidak meyadari ada orang lain di sini dan berceloteh tentang proses belanja bulanan yang harus dia tanggung karena harus membeli novel itu. Au hanya mengangguk saja dan melihat dengan pandangan meminta maaf kepada Fahri yang di jawab dengan anggukan serta senyuman. Adit menyadari arah pandanganku dan akhirnya menyadari bahwa ada orang lain disana.
“ Kau, siapa ?” Bukannya meminta maaf, dia malah bertanya dengan menunjuk wajah orang itu tidak sopan. Sedangkan aku berkeringat dingin dibelakangnya takut jika mereka bertengkar di sini. Fahri tersenyum dan menjulurkan tangannya kepada Adit yang langsung di jabat kasar oleh Adit.
“ Fahri Azhari, kau ?”
“ Aditya, sahabat Ayu” Kata Adit dengan tekanan di bagian ‘sahabat’ yang membuatku mengangkat alis tidak mengerti. Walaupun memang benar sih, tetapi tetap saja ada yang salah dengan Adit, aku pastikan hal itu tetapi entah apa itu aku juga tidak tahu.  Setelah mengatakan itu, dia melepaskan tangan Fahri dengan kasar pula tetapi dibalas senyuman oleh Fahri dan semakin membuat Adit cemberut sedangkan aku tertawa cekikikan ketika mengetahui bahawa Fahri mengerjainya. Adit yang mendengarnya langsung melotot kearahku dan mendengus sebal. Fahri akhirnya meminta maaf dan Adit memaafkannya walau dengan terpaksa karena aku yang memaksa sebenarnya. Kami menghabiskan hari itu dengan saling mengobrol dan beberapa kali terutama Fahri mengerjai Adit yang membuatnya ngambek dan akhirnya aku juga yang harus melerainya.
“ Adit, kau penggemar Yalanda, ya ?” Fahri tiba – tiba menanyakan tentang idola Adit yang pastinya akan antusias.
“ Pasti dong !” Matanya tampak berbinar – binar dan seperti ada bunga yang menjadi latarnya, bahagaia banget padahal cuma ditanya doang. Aku bahkan menghela nafas ketika melihatnya mulai dengan idolanya itu.
“ Emangnya kenapa lo nanya, naksir ?” Dia berhenti dan menatap Fahri, merasa tertantang dengan pertanyaannya yang bahkan nggak ada maksud kesana dan apa tadi naksir ?
Mukaku dalam sekejap memerah saat Fahri menganggukkan kepalanya dan tentunya Adit yang merasa tersaingi dengan cepet menunjuk fahri dengan -oh sangat sopan sekali- dan memandangnya sengit. Aku memekik ketika itu dan berusaha melerai mereka untuk kedua kalinya.
“ Emangnya kamu nggak pengen tahu siapa sebenarnya Yalanda ?” Adit dan bahkan akupun ikut mengalihkan pandangan kearahnya tentu dengan alasan berbeda. Adit yang pastinya sangat tertarik dengan pembicaraan Fahri sedangkan aku yang takut jika dia membeberkan identitas asliku. Bahaya bahaya !
Fahri tampak menyeringai kearahku dan menaikkan alisnya main – main tanpa mengetahui jika nyawa seseorang tengah terancam di sini. Adit mendesak atau lebih tepatnya memaksa kepada Fahri untuk memberitahunya dengan memegang kerah bajunya.

“ Baik, tenanglah.” Eh buset ini orang gak tau apa arti kepercayaan seseorang. Aku mengutuk Fahri dalam hati dan berjanji akan memotongnya atau menggantungnya di taman ini jika dia memberitahu Adit tentangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar