Kepercayaan
“ Astaga, Fahri !” Aku memakai pakaianku
tergesa – gesa dan memakai parfum yang lumayan banyak sebagai pengganti aku
tidak mandi.
Persetan dengan mandi, aku lebih peduli dengan seseorang yang
mungkin kelelahan menungguku di taman. Dengan cepat aku mengeluarkan motorku dari
garasi setelah berpamitan kepada ibu yang tengah bersih – bersih. Taman saat itu lumayan sepi karena cuaca yang
sedikit mendung. Aku melihat sekeliling taman dan berharap dapat menemukan
Fahri secepatnya, tetapi sepertinya aku harus kecewa karena tidak dapat
menemukannya di manapun. Aku merasa menyesal karena telah melanggar janjiku
sendiri.
Tiba
– tiba sesuatu yang bersuhu dingin menempel di pipiku yang membuatku menoleh
dengan cepat dan menemukan fahri dengan cengiran khasnya tengah memegang 2 es cone
di tangannya. Aku terkejut ketika melihatnya dan sedikit malu karena aku amat
sangat terlambat.
“ Fahri, maafkan aku,” Aku menundukkan
wajahku seraya menggenggam tangan gugup. Es
cone vanilla tamapk di depan wajahku sehingga aku mengangkat kepalaku dan
melihatnya tersenyum seraya menyodorkan es
cone vanilla itu.
“ Tidak apa kok, lagi pula aku juga
ingin menikmati waktuku sebelum ini berakhir. “ Aku mengambil es itu dan
menjilatinya sedangkan dia melakukan hal yang sama bahkan sampai menjilati
tangannya karena es yang meleleh. Dia duduk di bangku yang berada di samping
kami dan aku pun melakukan hal yang sama. Kami hanya berfokus untuk
menghabiskan es cone itu dalam
keheningan. Sepertinya cuaca mendung begini membuatku agak panas sehingga aku
tidak menyangka es coneku telah habis
duluan daripada Fahri.
“ Emmm Fahri,” Fahri melihatku seraya
menggigit habis cone itu seraya
menaikkan alisnya, bingung.
“ Tadi kau bilang sebelum ini berakhir,
apa maksudnya ?” Aku memerengkan kepala sedikit untuk menerima penjelasannya,
tetapi wajahnya membuatku merasa sedikit bersalah. Terlihat raut wajahnya
menegang saat aku menanyakan hal itu kepadanya. Dia memberikanku senyuman yang
tampak menyimpan banyak misteri di dalamnya.
“ Jadi kau penasaran, ya ?” Aku
mengangguk dengan antusias dan dia menghela nafas yang entah kenapa suasana
berubah menjadi serius.
“ Ayu, kaukah itu ?” Sebuah suara
menginterupsi percakapan kami. Aku menoleh karena sangat mengenal suara itu dan
ternyata benar, itu adalah Aditya. Dia tampak membawa barang belanjaan di kedua
tangannya dengan sedikit kerepotan. Dia tampak bernafas lega karena tahu bahwa
itu memang aku dan mendudukan diri tepat diantara aku dan Fahri. Dia sepertinya
tidak meyadari ada orang lain di sini dan berceloteh tentang proses belanja
bulanan yang harus dia tanggung karena harus membeli novel itu. Au hanya
mengangguk saja dan melihat dengan pandangan meminta maaf kepada Fahri yang di
jawab dengan anggukan serta senyuman. Adit menyadari arah pandanganku dan
akhirnya menyadari bahwa ada orang lain disana.
“ Kau, siapa ?” Bukannya meminta maaf,
dia malah bertanya dengan menunjuk wajah orang itu tidak sopan. Sedangkan aku
berkeringat dingin dibelakangnya takut jika mereka bertengkar di sini. Fahri tersenyum
dan menjulurkan tangannya kepada Adit yang langsung di jabat kasar oleh Adit.
“ Fahri Azhari, kau ?”
“ Aditya, sahabat Ayu” Kata Adit dengan tekanan di bagian ‘sahabat’ yang
membuatku mengangkat alis tidak mengerti. Walaupun memang benar sih, tetapi
tetap saja ada yang salah dengan Adit, aku pastikan hal itu tetapi entah apa
itu aku juga tidak tahu. Setelah
mengatakan itu, dia melepaskan tangan Fahri dengan kasar pula tetapi dibalas
senyuman oleh Fahri dan semakin membuat Adit cemberut sedangkan aku tertawa
cekikikan ketika mengetahui bahawa Fahri mengerjainya. Adit yang mendengarnya
langsung melotot kearahku dan mendengus sebal. Fahri akhirnya meminta maaf dan
Adit memaafkannya walau dengan terpaksa karena aku yang memaksa sebenarnya.
Kami menghabiskan hari itu dengan saling mengobrol dan beberapa kali terutama
Fahri mengerjai Adit yang membuatnya ngambek dan akhirnya aku juga yang harus
melerainya.
“ Adit, kau penggemar Yalanda, ya ?” Fahri
tiba – tiba menanyakan tentang idola Adit yang pastinya akan antusias.
“ Pasti dong !” Matanya tampak berbinar
– binar dan seperti ada bunga yang menjadi latarnya, bahagaia banget padahal
cuma ditanya doang. Aku bahkan menghela nafas ketika melihatnya mulai dengan
idolanya itu.
“ Emangnya kenapa lo nanya, naksir ?”
Dia berhenti dan menatap Fahri, merasa tertantang dengan pertanyaannya yang
bahkan nggak ada maksud kesana dan apa tadi naksir ?
Mukaku dalam sekejap memerah saat Fahri
menganggukkan kepalanya dan tentunya Adit yang merasa tersaingi dengan cepet
menunjuk fahri dengan -oh sangat sopan sekali- dan memandangnya sengit. Aku
memekik ketika itu dan berusaha melerai mereka untuk kedua kalinya.
“ Emangnya kamu nggak pengen tahu siapa
sebenarnya Yalanda ?” Adit dan bahkan akupun ikut mengalihkan pandangan kearahnya
tentu dengan alasan berbeda. Adit yang pastinya sangat tertarik dengan
pembicaraan Fahri sedangkan aku yang takut jika dia membeberkan identitas
asliku. Bahaya bahaya !
Fahri tampak menyeringai kearahku dan
menaikkan alisnya main – main tanpa mengetahui jika nyawa seseorang tengah
terancam di sini. Adit mendesak atau lebih tepatnya memaksa kepada Fahri untuk
memberitahunya dengan memegang kerah bajunya.
“ Baik, tenanglah.” Eh buset ini orang
gak tau apa arti kepercayaan seseorang. Aku mengutuk Fahri dalam hati dan
berjanji akan memotongnya atau menggantungnya di taman ini jika dia memberitahu
Adit tentangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar