Arloji Tua
Deru nafas itu terus
beradu bagaikan tengah dipompa. Langkah kakinya semakin lama semakin cepat
menelusuri lorong – lorong yang tergenang oleh air. Keringat menetes, membasahi
tubuhnya. Dia tidak bisa berhenti, sekali berhenti, ucapkan selamat tinggal
untuk dunia.
Bayangan itu semakin cepat dan berusaha menggapainya dengan jari
tangannya yang panjang. Pria itu berteriak dan semakin mempercepat langkahnya,
tetapi dia hanyalah manusia biasa yang juga merasakan kelelahan. Langkahnya semakin pelan dan saat dia melihat
kebelakang wajah itu menyeringai mengerikan. Dia mundur kebelakang sampai
akhirnya punggungnya menekan dinding, terjebak. Sosok itu semakin dekat, dia
mengangkat tangannya dan mengayunkannya ke arah pria itu dan,
“Ahhhh, nggak gue nggak berani ,
matiin!” Seorang perempuan berambut pirang berteriak seraya menutup matanya
sedangkan temannya memutar mata bosan akan tingkah temannya yang menurutnya
berlebihan.
“ Tenang Ris, ini tuh cuma film.”
Akhirnya Anisa menyerah dan mematikan televisi dihadapan mereka. Dia melihat
jam telah menunjukkan pukul 9 malam dan membereskan semuua peralatan yang
mereka pakai untuk mengerjakan tugas sekolah. Memang awalanya Riska datang ke
rumahnya untuk menginap dan mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh guru
bologi yang harus dikumpul besok. Awalnya
mereka mengerjakan dengan tenang, tetapi Riska mengacaukannya dengan memintanya
memutar kaset yang baru dia beli. Tidak dapat menolak permintaan sahabatnya,
dia pun memutar kaset itu, tetapi baru beberapa menit Riska sudah ketakutan
dengan film yang dia pilih sendiri.
Setelah
merasa semua rapi kembali, dia dan Riska beranjak tidur. Anisa yang tidak dapat
tidur lebih memilih untuk melihat keluar jendela, sepi. Dia berpikir mungkin
hanya orang gila saja yang berkeluyuran malam – malam begini. Tetapi dia
mematahkan pemikirannya, seorang pria tengah duduk di sebuah bangku taman
sendirian. Dia tampak menggenggam sesuatu. Anisa tidak dapat melihatnya karena
terlalu jauh. Dengan sedikit pertimbangan dia meninggalkan Riska yang terlelap
dan keluar menemui pria itu. Pria itu mengenakan jaket coklat yang sedikit
lusuh dan ternyata yang dipegang olehnya adalah sebuah arloji tua. Dia
mendongak melihat langsung ke mata Anisa seraya menyeringai dan dalam sekejap
telah berada disamping Anisa.
“ Sudah waktunya,” Pria itu berbisik dan
Anisa dengan cepat menoleh ke belakang tetapi tidak ada siapapun disana, seakan
dia lenyap ditelan bumi. Anisa berlari masuk ke dalam rumah, tetapi Riska juga
ikut lenyap. Dia memanggil Riska tetapi tidak ada jawaban.
Tiba
– tiba ada seseorang yang memegang bahunya. Dengan perlahan Anisa memutar
tubuhnya,
“Riska!” Anisa langsung memeluk tubuh
itu sedangkan Riska hanya tertawa cekikikan.
“ Kenapa tadi kau meninggalkanku?” Riska
mengangkat salah satu alisnya dan memajukan bibirnya, ngambek. Anisa hanya
menghela nafas dan menjelaskan semuanya kepadanya.
“ Ohh jadi apa maksudnya?”
“Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya
Riska,” Sahabatnya ini memang aneh. Anisa melihat sebuah pintu berwarna merah
tepat dibelakang Riska yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dengan
penasaran, dia membuka pintu itu dan betapa terkejutnya bahwa yang ditemukannya
adalah setumpukan arloji tua. Dia mengambil salah satu arloji itu dan
menelitinya. Dia seperti pernah melihat arloji tua itu tetapi dia lupa
tempatnya dan kapankah itu. Sebelum dapat mengingatnya, sebuah jarum jam yang
lumayan besar dan tajam melesat ke arahnya. Riska yang melihat hal itu langsung
berteriak kepada Anisa. Untungnya refleks yang dimiliki oleh Anisa cukup
terlatih sehingga dapat menghindari jarum tersebut. Riska mengambil jarum itu
dan memperlihatkannya kepada Anisa.
“Siapa yang telah melakukan hal ini?”
Mereka saling pandang dan akhirnya menyerah. Belum sempat mereka bernafas lega,
bel rumah Anisa berbunyi. Dengan sedikit takut, Anisa dan Riska membuka pintu,
kosong tidak ada siapapun disana. Tetapi tampak sebuah kardus yang di dalamnya
terdapat sesuatu yang dibungkus dengan plstik hitam. Dengan perlahan, anisa
mengambil dan membukanya,
“Ahhhh....” Dia melempar plastik itu dan
menangis, tubuhnya bergetar ketakutan. Riska yang penasaran melihat isi plastik
tersebut dan betapa terkejutnya ketika dia menemukan kepala anjing peliharaan
Anisa di dalamnya.
“Kita di terror Ris!” Anisa tampak
sangat frustrasi. Akhirnya Anisa ingin menginap di rumah Riska dan dia
menyetujuinya. Riska menyiapkan satu buah ranjang untuk Anisa dan pergi
meninggalkannya untuk mengambil air minum. Anisa berusaha meredakana
ketakutannya dan melihat – lihat kamar Riska. Dia datang ke kamar Riska hanya
dua kali, tetapi Riska datang ke kamarnya berkali – kali, aneh memang. Dia
melihat banyak foto yang dibingkai di sana. Foto masa kecil Riska tak luput
dari perhatiannya.
Tiba
– tiba pandangannya tertuju kepada sebuah arloji tua. Anisa tampak mengenali
arloji itu sampai dia ingat bahwa arloji itulah yang menjadi ciri khas orang
yang menerorrnya. “Jadi, Riskalah yang menererorrku?” Anisa berbisik kepada
dirinya sendiri.
“ Iya Anisa. Akulah yang melakukannya.”
Anisa berbalik dan melihat Riska yang sangat berbeda dengan seringai yang
sangat mengerikan.
“Tapi kenapa?” Riska memajukan
langkahnya mendekati foto – foto masa kecilnya dan mengambil salah satu foto
yang menggambarkan dua orang anak yang tengah berpelukan dengan senyum yang menempel
di wajah mereka.
“Aku hanya iri padamu Anisa. Kau memang
sahabatku tetapi kenapa harus kau yang menjadi terkenal hah?” Dia menaruh
kembali foto itu dan tampak merogoh sesuatu dalam sakunya, jarum yang hampir
melukai Anisa dan mempermainkan jarum itu seakan itu hanyalah mainan biasa.
Anisa yang mendengar hal itu tidak dapat menahan tangisnya.
“Sssst, putri tidak boleh menangis,”
Riska mencengkram dagunya dan menghempaskan tubuhnya ke lantai.
“Semoga mimpi indah, putri Anisa.” Dia
tertawa keras dan mengarahkan jarum itu ke jantung Anisa. Sedangkan Anisa hanya
dapat menutup mata pasrah akan kejadian selanjutnya.
Dorr
Tiba
– tiba sebuah tembakan tepat mengenai
tangan Riska yang tengah memegang jarum. Riska mengaduh kesakitan dan
melihat tangannya berlumuran darah. Dia melihat siapa orang yang telah berani
menembaknya saat dia tengah berada di puncak kesenangan. Anisa yang mendengar
suara tembakan itu memberanikan membuka mata dan hal pertama yang dilihatnya
adalah tangan Riska yang penuh darah dan Raka, kakak Riska bersama dua orang
polisi yang tengah bersiap dengan pistol ditangan mereka.
“ Tangkap dia, pak!” Kedua polisi itu
langsung menangkap Riska dan membawanya ke kantor polisi sedangkan Raka
membantu Anisa.
“ Aku tahu Riska itu iri padamu dari pandangan
matanya. Saat aku memberitahunya bahwa itu salah, dia menyangkal dan pergi.
Jadi, seperti inilah yang akhirnya tejadi.” Anisa hanya mengangguk dan
mengambil salah satu arloji tua milik Riska dan menyimpannya di saku.
“ Aku akan menyimpan arloji ini agar
dapat mengingatkanku kepada kejadian ini. Kamu temanku, serigala berbulu
domba.” Anisa dan Raka pun pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka tidak
tahu bahwa permainan belum selesai sepenuhnya, just waiting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar