Sebuah cerita pendek yang mengisahkan tentang seorang anak dan ibunya dalam suatu kegiatan. Cerpen ini bertemakan keluarga, yaitu ibu dan anak. Ibu yang senantiasa tulus kepada anaknya dan anaknya yang rada egois. Untuk selengkapnya silahkan dibaca!
Harapan Penyesalan
Aku tersenyum lebar saat melihat pakaian yang aku kenakan saat ini. Aku siap. Aku menghentikan laju sepeda motorku tepat di depan sebuah warung.
“Ibu ayo!” Teriakku dengan semangat. Seorang wanita paruh baya tampak keluar dari warung minimalis itu dan menaiki sepeda motor yang aku kendarai. Saat semuanya siap, aku memacu kendaraan dengan agak cepat karena hari ini aku dapat mencapai keinginanku. Tidak aku hiraukan suara ibu yang menyuruhku menurunkan kecepatan laju sepeda motor. Sampai tujuan, tetapi orang itu belum datang juga. Kurang lebih 30 menit kami telah sampai, tetapi dia belum datang juga. Bosan menunggu, akhirnya tampak seorang wanita yang hampir seumuran dengan ibuku tengah melajukan sepeda motornya ke arah kami.
“Sudah siap?”
“Sudah, mari kita berangkat!” Dia tampak mengangguk dan memutar arah. Aku pun mengikuti dari belakang. Hanya membutuhan waktu beberapa menit, kami telah sampai. Tampak beberapa ibu - ibu yang sedang berkumpul. Aku agak canggung saat berpapasan dengan mereka. Ibu mengusap bahuku seraya tersenyum lembut,
“Tidak apa, ayo!” Aku pun mengangguk dan melangkah mendekati kerumunan itu. Beberapa menatapku aneh dan binggung, mungkin karena aku satu - satunya remaja yang ada di sana. Aku tersenyum canggung kepada mereka dan tetap menggandeng tangan ibuku.
“Eh anggota baru ya?” Seorang wanita yang sepertinya ibu yang paling muda diantara yang lainnya.
“Em iya,” Aku menjawab dengan sedikit malu. Entah kemana semangat dan keberanianku tadi, terasa lenyap begitu saja.
“Iya nggak usah malu kok, kita nggak bakal makan kamu.” Lelucon yang cukup lucu sehingga rasa canggungku sedikit berkurang.
“Oh itu siapa?” dia tampak menunjuk ke sebelahku.
“Ini ibuku, dia memaksa ingin ikut jadi tidak apa kan?” Dia tampak menggeleng dan tersenyum kearah kami berdua. Dia tampak kaget saat melihat jam dinding yaang terpasang di ujung bangunan.
“Wah udah mulai nih, ayo semuanya kita berkumpul!”
Ibu - ibu tadi berbaris dan aku pun juga ikut berbaris bersama ibuku. Walau awalnya aku agak susah saat mengikuti gerakan pelatih di depan, aku tetap semangat. Zumba menggunakan irama musik untuk menuntun gerakan, jadi hal itu menjadi menyenangkan untukku yang memang pada dasarnya sangat menyukai musik dan juga seni gerak modern. Kulihat ibu agak susah dan ngawur dalam mengikuti gerakan instruktur, tetapi aku abaikan dan melanjutkan gerakanku sendiri. Saat sedang bersemangatnya, hujan tiba – tiba turun. Awalnya itu tidak berpengangaruh karena kami berada di sebuah bangunan, tetapi hujan itu semakin deras dan airnya juga memasuki ruangan sehingga lantainya licin. Karena hal itu pun pelatih menghentikan latihan hari ini. Saat kami berteduh aku melihat ibu yang ikut berdesakan dengan peserta lainnya. Wajahnya tampak kesakitan karena berhimpitan. Aku jadi tidak tega melihat ibu seperti itu. Ibu melihatku dan tersenyum lembut mengerti akan arti pandanganku. Aku tidak tahan melihat senyum itu, jadi aku putuskan untuk pindah kesamping ibu dan memeluknya. Aku mengingat saat ibu memaksa untuk ikut bersamaku, saat ibu mengikuti gerakan yang cukup rumit untuk seusianya dan mengesampingkan rasa lelahnya hanya untuk menemaniku, hanya untukku. Air mataku turun saat mengingat kejadian kejadian itu. Betapa relanya dia hanya agar aku mampu menemukan badan idealku. Tidak dapat kubendung lagi, airmataku turun semakin deras. Aku tidak perduli bila ada yang melihatku menangis walau itu ibu sekalipun. Inilah adalah airmata penyesalan. Aku tidak menghirauakan ibu yang menghawatirkanku dan bahkan menganggapnya kuno karena tidak dapat mengikuti gerakan instruktur. Tetapi aku sadar, apa yang aku lakukan adalah salah. Ibu terkejut saat melihatku menangis dan mengahapus airmataku.
“ Loh, kok nangis?” Bukannya menjawab aku malah semakin mememluk ibu erat yang diabalas pelukan yang sama eratnya.
“Maafin aku ya bu, maaf,” isakanku semakin keras. Aku tidak memeperdulikan semua pasang mata yang melihatku. Air mataku terus mengalir dan semakin deras begitu juga dengan hujan yang semakin deras.
“Kamu minta maaf untuk apa?” ibu mengusap rambutku sayang. Ya tuhan, suaranya begitu lembut dan halus. Dia benar benar malaikatku.
“Kamu nggak usah minta maaf. Kamu nggk ada kok salah sama ibu.” Kenapa ibu berkata seperti itu, padahal aku sudah berasalah padanya, tetapi hal itu tidak aku katakan hanya ku suarakan dalam hati.
Kulihat hujan masih deras tetapi hari sudah larut, aku tidak takut jika dimarahi oleh ayah, tetapi aku tidak mau dia memarahi ibu. Kulepaskan pelukanku padanya dan mengambil mantel di jok sepeda motorku walaupun aku harus diguyur hujan. Aku lebih memilih sakit daripada melihat airmata ibu karena kesalahanku. Aku memberikan mantel itu kepada ibu dan aku memakai yang satunya. Setelah berpamitan, kami pun meninggalkan tempat itu. Dalam perjalanan, hujan telah mengakibatkan banjir di jalan yang akan kami lewati. Ibu terlihat khawatir dan menyuruhku untuk turun saja, tetapi aku menolak secara halus dan melajukan motorku dengan perlahan. Untungnya kami sampai dengan selamat di rumah. Kulihat ayah yang sedang menunggu kami. Wajahnya menyiratkan kecemasan dan kekhawatiran. Setelah memarkir sepeda motorku, aku dan ibu pun turun menemui ayah.
“Maaf yah,” Kulihat ayah menghela nafas dan mengangguk. Aku senang bukan kepalang karena kami berdua lolos dari amarah sang ayah. Aku mempersilahkan ibu untuk mandi terlebih dahulu dengan air hangat yang telah aku siapkan.
“Tumben, ada apa nih?”
“Nggak kok” Dia hanya tersenyum sebagai balasan dan segera masuk ke kamar mandi. Setelah ibu selesai mandi, aku pun masuk ke kamar mandi. Hanya membutuhkan beberapa menit, aku pun selesai. Aku melihat keluar ternyata hujan sudah berhenti. Bintang menghiasi langit malam itu. Benar benar indah. Gemerlap bintang dan cahaya bulan tampak menyinari seseorang yang tengah duduk di teras, ibu. Aku mendekatinya dan duduk disampingnya. Ibu yang menyadari kehadiranku menoleh dan tersenyum lembut seraya mengusap rambutku. Aku menyenderkan kepalaku ke bahunya seraya tersenyum. Tiba – tiba bunyi telephon berdering dari arah sakuku.
“Ya, ada apa?” Aku melirik ibu yang sepertinya penasaran kepada siapa yang meneleponku malam begini.
“Maaf aku nggak bisa.” Telepone itu langsung kututup dan menoleh kepada ibu.
“Itu temenku menagajakku untuk merayakan malam pergantian tahun tetapi aku menolaknya.”
“Kenapa, bukannya kau dapat bersenang - senang dengan teman – temanmu?” Aku menggeleng seraya menatap langit malam,
“ Aku ingin menghabiskan malam ini hanya berdua dengan ibu.” Aku menoleh kearahnya dan tersenyum lembut. Dia tampak terkejut dengan perkataanku tetapi kemudian tersenyum. Dia mengalihkan pandangan begitu juga aku ke langit malam. Keheningan malam menyelimuti kami, tetapi aku membiarkan keheningan ini meneyelimuti, tidak ingin mengusiknya.
“Malam kebahagian ya?” Aku menoleh ke arahnya yang tersenyum kerahku seraya mengusap rambut lembut kemudian memelukku erat, hangat. Aku menoleh kearahnya dan tersenyum mengiyakan.
Ctaaarrrr
Letupan kembang api menghiasi langit malam berdampingan dengan bintang dan bulan. Langit malam ini benar - benar indah apalagi ditambah dengan hiasan kembang api.
“Wah kembang apinya bagus ya?” aku mengangguk tetapi tidak menoleh. Terpukau akan keindahan kembang api yang masih terus berlanjut. Kulihat wajahnya menunjukkan hal yang sama. Malam tahun baru yang menyenangkan, aku harap dapat melakukan hal yang sama bersama ibu dan dapat menghargai perlakuannya padaku.
Terima kasih, tetap baca lagi yang lainnya ya ?
BalasHapus